Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya alami sebelum saya menikah dengannya. Saking menarik perhatiannya, saya jadi bersemangat menuliskannya disini. Apalagi, ada juga pastinya yang sedang diam-diam mempersiapkan menghadapi mertua. Iya kan? Hehe.
Baik laki-laki ataupun perempuan, kelak sesudah menikah akan merasakan yang namanya mempunyai mertua, bukan? Yang belum menikah dan ingin menikah, seyogyanya selama proses tidak akan bisa menghindar dari yang namanya mertua.
Namun entah mengapa, masih banyak yang belum tau gimana caranya memikat hati calon / mertua. Nah, ini. Sejujurnya, sebelum memutuskan menikah, hal yang paling dasar untuk kamu ketahui adalah belajar berkomunikasi yang baik kepada orang tua. Dengan begitu, kita pun tidak akan kesulitan jika nantinya berhadapan dengan calon ataupun mertua kita.
Dalam berbagai kasus, ada beberapa pasangan suami istri yang terjadi konflik justru antara mertua dan menantu. Ada loh. Banyak berakibat bercerai. Padahal, cerainya pasangan suami istri tersebut bukan karena masalah internal, akan tetapi masalah tersebut datangnya dari persoalan keluarga.
Apatah lagi ada yang belum tau, bahwa sejatinya menikah bukanlah hanya urusan cinta dua manusia, akan tetapi, menikah itu menyatukan dua keluarga. Jadi, mau tidak mau, ketika kita memutuskan menikah dengan seseorang, buka hanya dia yang kita cintai, tapi seluruh keluarganya.
Ironisnya, ada beberapa kasus yang menikah karena mencintai anaknya saja, sedangkan mertuanya tidak, bahkan keluarganya pun tidak ia cintai. Sungguh ironis sekali. Al hasil, malah si pasangan menjauhkan pasangannya dari keluarganya. Ini bahaya!
***
Sebelum semuanya terjadi ... dan bagi pembaca yang sedang mempersiapkan pernikahan, ada baiknya membaca tulisan ini terlebih dahulu.
Sebab ilmu tentang orang tua merupakan ilmu yang urgent yang perlu kita ketahui sebelum memutuskan menikah.
Sebagai sebuah contoh, ada bebarapa kasus yang sudah saya dengar dari berbagai teman-teman dan sahabat terkait pembicaraannya dengan mertua.
Kasus satu :
Si lelaki datang kepada mertua dengan menyebutkan penghasilan dan kerjanya. Ia juga menyebutkan beberapa prestasi yang ia miliki. Lantas, si calon mertua menolak lamaran tersebut karena sesuatu yang tidak mengenakan hati alias si laki-laki tersebut datang dengan kesombongannya. Bagi si mertua, cukup ia menyebutkan kalau ia siap bertanggung jawab di dunia dan diakhiratnya.
Kasus ke dua :
Si laki-laki datang dengan keshalehannya, lalu ditanya oleh calon mertuanya soal penghasilan yang ia dapatkan. Lantas, dengan shaleh si lelaki menjawab dengan tenang kalau rezeki sudah ada yang mengatur, Allah. Eh, sudah shaleh begini masih di tolak juga dengan alasan jangan hanya berdalil, tapi minimal menyebutkan ikhtiar si laki-laki tersebut.
Why?
Apa yang salah dari lelaki shaleh tersebut? Bukankah benar? Iya benar. Lelaki itu tidak salah. Ia hanya kurang peka pada penempatannya saja.
Itulah kiranya dua kasus yang pernah saya dengar dari cerita kisah nyata teman-teman. Sungguh tidak ada yang salah dengan maksud dan tujuan si lelaki, hanya saja, mungkin, si lelaki kurang peka dalam memahami sikap dan karakter mertuanya.
Inilah Tips Pertama: Pahami Karakter Mertua
Jujur saja, sebelum saya datang kepada ibunda istri saya sekarang, telah jauh-jauh hari saya bertanya kepada istri saya tentang bagaimana sih karakter ibundanya, makanan apa yang paling ibundanya sukai?
Dengan senang hati istri saya menjelaskan bahwa karakter ibundanya begini dan begitu. Makanan yang ia sukai ini dan itu. Ooo, dari situ sebenarnya sudah sedikit pengetahuan yang saya miliki.
Saya pada saat itu karena baru pertama kali bertemu merasa bahwa sudah sering bertemu. Kami ngobrol dengan akrab. Malah pada saat saya datang menyatakan keseriusan menikah dengan anaknya, ibundanya yang lebih banyak bicara dan saya lebih banyak mendengar saja.
Wah terbalik kan biasanya. Hahaha.
Yups, dari informasi yang diberikan istri saya tentang ibundanya, setidaknya saya memiliki modal yang cukup untuk bisa berinteraksi dengan ibundanya dengan baik. Alhamdulillah benar, saat kami berbicara, justru seperti sudah kenal lama dan banyak sekali kejutannya. Padahal, jujur saja, kami baru sekali bertemu.
Nah, silahkan pahami mertua dari informasi-informasi yang kamu dapatkan dari siapapun. Atau kalau kamu sudah lama mengenal ibunda atau ayahandanya itu jadi lebih mudah.
Tips Kedua: Rendah Hatilah Dihadapannya
Untuk mengurai bahasan ini saya ingin memberikan analogi simple. Misalnya saja, jika kita sedang berbicara dengan seseorang yang lebih muda, lalu si lawan bicara kita berlaku sombong dihadapan kita, bagaimana reaksi kita?
Marah? Ilfil? Atau lainnya?
Itu sudah menjadi sifat sebagian dari kita. Ya, tidak nyaman kalau lawan bicara sombong dihadapan kita. Begitu juga saat berhadapan dengan mertua, sikap rendah hati harus menjadi modal utama dalam pembicaraan. Bahkan, bukan hanya kepada mertua, kepada semua orang yang lebih tua pun kita dianjurkan untuk rendah hati dihadapannya. Betul kan?
Dulu, ketika saya berhadapan dengan orang tua dari istri saya, saya mencoba berbicara apa adanya, membicarakan kekurangan saya, membicarakan hal-hal yang belum saya mengerti. Bahkan saya bilang ke orang tuanya kalau kedatangan saya tidak hanya berniat taaruf dengan anaknya, tapi saya jelaskan juga kalau maksud kedatangan saya dalam rangka belajar kepada orang tuanya. Tak ada maksud hati ingin mengabarkan kelebihan-kelebihan yang saya miliki.
Alhamdulillah, hal yang saya tangkap dari raut wajah orang tua istri saya terlihat gembira dan seperti merasa diperhatikan. Alhamdulillah.
Maka wajar, jika ada sebagian orang tua yang mempunyai anak untuk dinikahkan, tidak bertanya soal materi, tapi lebih dari itu, yakni soal adab, agama dan tata krama.
Sebagaimana kita tidak ingin berhadapan orang yang sombong, maka demikianpun berhadapan dengan orang tua. Sikap rendah hati kita dihadapannya InsyaAllah akan membantu proses niat ibadah menikah kita menjadi lancar.
Tips Ketiga : Dekatkan Pasanganmu Ke Orang Tuanya
Ini menjadi catatan penting bagi kita semua. Sebab banyak, pasangan yang sudah menikah justru jauh dari orangtuanya. Masalahnya sederhana, pernikahan tak membawanya semakin dekat dengan keluarga, malah menjauhkan.
Seperti yang saya tulis sebelumnya, bahwa menikah adalah menyatukan dua keluarga. Maka, hal terpenting berikutnya adalah berikan sebanyak-banyaknya kesempatan orang tua dari pasangan kita lebih dekat dengan orang tuanya. Jangan sampai, justru pernikahan yang kita jalani, malah menjauhkan pasangan kita dari orang tuanya.
Kebetulan kemarin di hari minggu adalah perjalanan saya dan istri bersama ibundanya. Minggu sore, rumah kami kedatangan orang tua dari istri saya tercinta. Saya memanggilnya dengan sebutan Umi. Sebab yang datang ke rumah kami hanya Umi saja. Jauh-jauh Umi datang dari Serang karena ingin menjenguk anaknya.
Saya sebagai menantu, memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada Umi untuk bertemu dengan anaknya. Dan saya pun mengalah tidur di ruang tamu sedangkan Umi dan istri tidur di dalam kamar. Itu semua karena saya paham betul bagaimana kerinduan seorang Ibu dengan anaknya setelah menikah. Bayangkan saja, anak yang sudah ia besarkan kini ada di pangkuan orang lain. Ya, mungkin itulah alasan rindu.
Saya pun menjemput Umi di stasiun dekat rumah. Memberikan pelayanan yang terbaik sampai mengantarnya pulang. Dan pada saat mengantar inilah saya menangkap wajah berseri Umi secara langsung.
Hal sederhana yang saya lakukan hanya mengantarnya ke stasiun Tanah Abang, dan padahal saya ingin ke Stasiun Sudirman untuk ke IBF Jakarta. Umi menangkap kecemasan saya karena ketinggalan kereta.
Sudah ngga apa-apa, nanti ketinggalan lho keretanya. Umi sama orang lain saja. Begitu Umi katakan.
Saya tersenyum, Nggak Umi, aku ingin memastikan Umi baik-baik saja.
Disitulah saya melihat wajah Umi tersenyum. Merasa diperhatikan. Ahh ... alangkah bahagia sekali jika saya bisa membahagiakan Ibunda dari istri saya.
Kereta keduapun datang, lalu Umi memaksa saya agar saya segera naik kereta tersebut.
Sudah nggak apa-apa.
Dengan berat hati saya mengiyakan. Tapi sebelumnya saya sampaikan ke Umi kalau sudah sampai segera kabari. Umi pun setuju. Akhirnya saya pamit dan memberikan senyum saya ke Umi.
Maka, ketika menjadi seorang anak, saya meyakini bahwa kebahagiaan pernikahan bukan hanya kebahagiaan kita dan pasangan, akan tetapi, kebahagiaan pernikahan adalah kebahagiaan kedua pasangan dan kedua keluarga. Agar silaturahmi semakin sambung menyambung dengan tali ukhuwah yang sangat kuat. Hingga ikatan pernikahan sampai kepada tujuan akhir yang indah, yakni surga Allah subhanahu wataala.
Akhir dari tulisan ini sayapun mendapat kabar gembira kalau Umi sudah sampai di Serang dengan kondisi baik-baik saja. Disitulah saya merasa bahwa kekuatan dua keluarga benar-benar terasa.