www.kaskus.com |
Mengawali tulisan ini, sejenak saya ingin bersyukur atas nikmat Allah hari ini. Banyak sekali kebahagian yang aku dapatkan sebelumnya, sampai tak terhitung. Allah memang Maha Baik. Tak terhitung sudah besarnya nikmat yang Ia berikan.
Jujur, tulisan ini adalah kakaknya dari tulisan Tentang Impian dan Orang tua'. Kalau kamu belum baca bagian itu kayaknya nggak lengkap deh. Tulisan ini juga bukanlah impian yang terbangun dari tidur. Bukan, tulisan ini hanya berusaha menyempurnakan tulisan pertama yang tidak sempurna. Sebab, yang sempurna hanya rokok. Hehehe.
Hanya candaan, yang sempurna hanya Allah subhanahu wataala. Ok, kita lanjut cerita yang sebelumnya masih bersambung. Penasaran ya? Hehe ma-af membuat lama menunggu.
Jadi, setelah aku diterima menjadi mahasiswa di Bandung. Aku tinggal di sebuah kos yang kebetulan dekat sekali dengan kampus. Aku menghabiskan waktu belajar di kampus, kos dan masjid. Saat itu temanku mash sedikit karena masih baru tahun pertama kuliah. Masih dalam bulan pertama masuk kuliah.
Ah ujian kembali menyapa ku dengan lembut. Sebulan sanggup membayar uang kos, namun di bulan ke dua aku tidak sanggup lagi membayar. Ditambah dengan keuangan orang tua yang pas-pasan. Kalau aku minta ke orang tua, itu hanya memberatkan keluarga. Jadi, kuputuskan untuk mencari tempat tinggal yang gratis.
Allah menyayangi hamba-Nya. Membelai lembut agar kita lebih banyak belajar arti kehidupan. Masa kekanak-kanakan ku berubah saat itu. Saat aku harus mencari tempat tinggal yang gratis, aku jadi lebih banyak berpikir tentang masa depan. Aku juga belajar arti kedewasaan, tanggung jawab dan mandiri. Dan aku juga banyak belajar untuk bersabar dan tawakal. Aku menemukan satu hal, mungkin masjid bisa menerimaku, tak apa jika aku harus menjadi marbot masjid, asalkan ada tempat tinggal yang nyaman tak masalah.
Sembari berjalan kuliah, aku berusaha mencari-cari masjid yang mau menerimaku. Aku berkeliling sekitar kampus. Aku ingat, ada tiga masjid yang terdekat, tapi semuanya menolak dengan alasan banyak hal. Harapanku pupus.
Aku hampir putus asa. Beruntung ada orang baik yang Allah kirimkan saat itu. Namanya Pak Ade. Beliau menawarkan agar tinggal di sebuah rumah temannya. Gratis. Ah langsung saja aku iyakan. Tapi masalahnya hanya jarak yang jauh dari kampus. Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan untuk sementara ini. Aku resmi tinggal di rumah Bang Ulung di daerah Karapitan, rumah temannya Pak Ade.
Bang Ulung orangnya baik, perhatian, dan peduli denganku. Aku merasakan beliau seperti teman. Meskipun beliau sudah menikah dan punya anak, tapi perhatiannya pun ditujukan padaku. Aku sudah menggangap Bang Ulunk seperti kakak sendiri.
Dua bulan berlalu saya tinggal bersama Bang Ulung dan keluarga. Sayup-sayup rasa tidak enak hati menyelimutiku selama dua bulan terakhir. Aku sudah terlalu nyaman samapi lupa bahwa aku sudah membuat orang lain repot dan kesusahan. Kudengar juga bahwa rumah Bang Ulung adalah rumah kontrakan dan akan segera habis waktunya.
Aku berpikir keras lagi. Mencari tempat tinggal yang baru. Bagaimana ini?
Alhamdulillah, kembali Allah menunjukan kuasanya. Aku dibolehkan tinggal di UKM kampus untuk sementara waktu. Alhamdulillah
Tinggal di UKM kampus membuahkan pelajaran yang beharga. Saat itu lah aku memulai bisnis kecil-kecilan di kampus. Hitung-hitung untuk menutupi kebutuhan hidup selama tinggal di perantauan yang jarang sekali mendapat kiriman. Hehehe
Aku mencoba bisnis kue, makanan ringan dan minuman kecil. Alhamdulillah, meski sedikit aku banyak pelajaran yang berharga. Lama kelamaan, aku mulai bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari lewat jualan itu. Alhamdulillah
Ujian datang lagi. Ah kok banyak ujian ya. Lebaiiiii . Bukan, bukan itu. Maksudku memang benar-benar ujian kok. Jadi, saat itu muncul kebijakan kampus untuk tidak memperbolehkan mahasiswa tinggal di kampus. Mendengar itu aku langsung lemesss, dimana lagi aku harus tinggal? Kok ujian nggak udah-udah ya?
Kata orang bijak, Ujian itu untuk menaikan derajat. Betullll, aku setuju kalau sama yang beginian. Allah pasti punya rencana lain, pasti.
Dan inilah puncak ujian tempat tinggal yang aku rasakan. Awalnya aku shalat dzuhur berjamaah di Mushala kampus, eh tiba-tiba ada kakak kelas yang ngajak ngobrolgtu dah. Ngalor ngidul. Nah, pas dia ngomong ada pesantren yang menerima mahasiswa aku langsung terbelalak. Waaaw, ada pesantren yang khusus mahasiswa, super banget!
Dia langsung ngasih brosul pesantrennya. Begitu liat brosurnya, nggak pake lama lagi buat bilang iya, mau, dan mau banget. Nah, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di pesantren.
Bulan Februari akhir menjadi saksi bisu bahwa aku sudah menjadi seorang santri. Yeee #TepokTangan.
Disini, di pesantren ini sampai saat ini, aku masih menikmati setiap episode kehidupan yang baik. Belum lagi punya lingkungan positif, teman-teman yang keren-keren dan memotivasi aku untuk terus maju. Buktinya, buku pertamaku yang lebih dahulu terbit ditulis saat menjadi santri. Wah wah wah. Buku kedua juga begitu, sampai saat ini, menulis tulisan ini pun di pesantren.
Nah, aku jadi merasa baru menjadi orang sekarang. Emang dulu kemana, nggak tahu. Hehehe. Masih jadi piyik kali ya. Jadi, bener banget kalau skenario Allah itu indah banget, brow. Mantap, cakep, bikin aku spechlees. Perjalanan ini juga mengajarkan aku untuk terus menatap masa depan yang baik, yang nggak suram kaya air terjun 30 meter, hehe. Oh iya, hal yang paling penting dalam menjalani setiap ujian adalah sabar, kalem, dan terus tatap masa depan. Jangan nge-galaumulu. Hidup ini kan nggak selebar daun kelor, betul atau betul?
Nah, ini cerita hidupku, mana cerita hidupmu?