Tips Memikat Hati "Calon" Mertua

Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya alami sebelum saya menikah dengannya. Saking menarik perhatiannya, saya jadi bersemangat menuliskannya disini. Apalagi, ada juga pastinya yang sedang diam-diam mempersiapkan menghadapi mertua. Iya kan? Hehe.

Baik laki-laki ataupun perempuan, kelak sesudah menikah akan merasakan yang namanya mempunyai mertua, bukan? Yang belum menikah dan ingin menikah, seyogyanya selama proses tidak akan bisa menghindar dari yang namanya mertua.

Namun entah mengapa, masih banyak yang belum tau gimana caranya memikat hati calon / mertua. Nah, ini. Sejujurnya, sebelum memutuskan menikah, hal yang paling dasar untuk kamu ketahui adalah belajar berkomunikasi yang baik kepada orang tua. Dengan begitu, kita pun tidak akan kesulitan jika nantinya berhadapan dengan calon ataupun mertua kita.

Dalam berbagai kasus, ada beberapa pasangan suami istri yang terjadi konflik justru antara mertua dan menantu. Ada loh. Banyak berakibat bercerai. Padahal, cerainya pasangan suami istri tersebut bukan karena masalah internal, akan tetapi masalah tersebut datangnya dari persoalan keluarga.

Apatah lagi ada yang belum tau, bahwa sejatinya menikah bukanlah hanya urusan cinta dua manusia, akan tetapi, menikah itu menyatukan dua keluarga. Jadi, mau tidak mau, ketika kita memutuskan menikah dengan seseorang, buka hanya dia yang kita cintai, tapi seluruh keluarganya.

Ironisnya, ada beberapa kasus yang menikah karena mencintai anaknya saja, sedangkan mertuanya tidak, bahkan keluarganya pun tidak ia cintai. Sungguh ironis sekali. Al hasil, malah si pasangan menjauhkan pasangannya dari keluarganya. Ini bahaya!

***

Sebelum semuanya terjadi ... dan bagi pembaca yang sedang mempersiapkan pernikahan, ada baiknya membaca tulisan ini terlebih dahulu.

Sebab ilmu tentang orang tua merupakan ilmu yang urgent yang perlu kita ketahui sebelum memutuskan menikah. 

Sebagai sebuah contoh, ada bebarapa kasus yang sudah saya dengar dari berbagai teman-teman dan sahabat terkait pembicaraannya dengan mertua.

Kasus satu :

Si lelaki datang kepada mertua dengan menyebutkan penghasilan dan kerjanya. Ia juga menyebutkan beberapa prestasi yang ia miliki. Lantas, si calon mertua menolak lamaran tersebut karena sesuatu yang tidak mengenakan hati alias si laki-laki tersebut datang dengan kesombongannya. Bagi si mertua, cukup ia menyebutkan kalau ia siap bertanggung jawab di dunia dan diakhiratnya.

Kasus ke dua :

Si laki-laki datang dengan keshalehannya, lalu ditanya oleh calon mertuanya soal penghasilan yang ia dapatkan. Lantas, dengan shaleh si lelaki menjawab dengan tenang kalau rezeki sudah ada yang mengatur, Allah. Eh, sudah shaleh begini masih di tolak juga dengan alasan jangan hanya berdalil, tapi minimal menyebutkan ikhtiar si laki-laki tersebut.

Why?

Apa yang salah dari lelaki shaleh tersebut? Bukankah benar? Iya benar. Lelaki itu tidak salah. Ia hanya kurang peka pada penempatannya saja.

Itulah kiranya dua kasus yang pernah saya dengar dari cerita kisah nyata teman-teman. Sungguh tidak ada yang salah dengan maksud dan tujuan si lelaki, hanya saja, mungkin, si lelaki kurang peka dalam memahami sikap dan karakter mertuanya.

Inilah Tips Pertama: Pahami Karakter Mertua

Jujur saja, sebelum saya datang kepada ibunda istri saya sekarang, telah jauh-jauh hari saya bertanya kepada istri saya tentang bagaimana sih karakter ibundanya, makanan apa yang paling ibundanya sukai?

Dengan senang hati istri saya menjelaskan bahwa karakter ibundanya begini dan begitu. Makanan yang ia sukai ini dan itu. Ooo, dari situ sebenarnya sudah sedikit pengetahuan yang saya miliki.

Saya pada saat itu karena baru pertama kali bertemu merasa bahwa sudah sering bertemu. Kami ngobrol dengan akrab. Malah pada saat saya datang menyatakan keseriusan menikah dengan anaknya, ibundanya yang lebih banyak bicara dan saya lebih banyak mendengar saja.

Wah terbalik kan biasanya. Hahaha.

Yups, dari informasi yang diberikan istri saya tentang ibundanya, setidaknya saya memiliki modal yang cukup untuk bisa berinteraksi dengan ibundanya dengan baik. Alhamdulillah benar, saat kami berbicara, justru seperti sudah kenal lama dan banyak sekali kejutannya. Padahal, jujur saja, kami baru sekali bertemu.

Nah, silahkan pahami mertua dari informasi-informasi yang kamu dapatkan dari siapapun. Atau kalau kamu sudah lama mengenal ibunda atau ayahandanya itu jadi lebih mudah.

Tips Kedua: Rendah Hatilah Dihadapannya

Untuk mengurai bahasan ini saya ingin memberikan analogi simple. Misalnya saja, jika kita sedang berbicara dengan seseorang yang lebih muda, lalu si lawan bicara kita berlaku sombong dihadapan kita, bagaimana reaksi kita?

Marah? Ilfil? Atau lainnya?

Itu sudah menjadi sifat sebagian dari kita. Ya, tidak nyaman kalau lawan bicara sombong dihadapan kita. Begitu juga saat berhadapan dengan mertua, sikap rendah hati harus menjadi modal utama dalam pembicaraan. Bahkan, bukan hanya kepada mertua, kepada semua orang yang lebih tua pun kita dianjurkan untuk rendah hati dihadapannya. Betul kan?

Dulu, ketika saya berhadapan dengan orang tua dari istri saya, saya mencoba berbicara apa adanya, membicarakan kekurangan saya, membicarakan hal-hal yang belum saya mengerti. Bahkan saya bilang ke orang tuanya kalau kedatangan saya tidak hanya berniat taaruf dengan anaknya, tapi saya jelaskan juga kalau maksud kedatangan saya dalam rangka belajar kepada orang tuanya. Tak ada maksud hati ingin mengabarkan kelebihan-kelebihan yang saya miliki.

Alhamdulillah, hal yang saya tangkap dari raut wajah orang tua istri saya terlihat gembira dan seperti merasa diperhatikan. Alhamdulillah. 

Maka wajar, jika ada sebagian orang tua yang mempunyai anak untuk dinikahkan, tidak bertanya soal materi, tapi lebih dari itu, yakni soal adab, agama dan tata krama.

Sebagaimana kita tidak ingin berhadapan orang yang sombong, maka demikianpun berhadapan dengan orang tua. Sikap rendah hati kita dihadapannya InsyaAllah akan membantu proses niat ibadah menikah kita menjadi lancar.

Tips Ketiga : Dekatkan Pasanganmu Ke Orang Tuanya

Ini menjadi catatan penting bagi kita semua. Sebab banyak, pasangan yang sudah menikah justru jauh dari orangtuanya. Masalahnya sederhana, pernikahan tak membawanya semakin dekat dengan keluarga, malah menjauhkan.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, bahwa menikah adalah menyatukan dua keluarga. Maka, hal terpenting berikutnya adalah berikan sebanyak-banyaknya kesempatan orang tua dari pasangan kita lebih dekat dengan orang tuanya. Jangan sampai, justru pernikahan yang kita jalani, malah menjauhkan pasangan kita dari orang tuanya.

Kebetulan kemarin di hari minggu adalah perjalanan saya dan istri bersama ibundanya. Minggu sore, rumah kami kedatangan orang tua dari istri saya tercinta. Saya memanggilnya dengan sebutan Umi.  Sebab yang datang ke rumah kami hanya Umi saja. Jauh-jauh Umi datang dari Serang karena ingin menjenguk anaknya.

Saya sebagai menantu, memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada Umi untuk bertemu dengan anaknya. Dan saya pun mengalah tidur di ruang tamu sedangkan Umi dan istri tidur di dalam kamar. Itu semua karena saya paham betul bagaimana kerinduan seorang Ibu dengan anaknya setelah menikah. Bayangkan saja, anak yang sudah ia besarkan kini ada di pangkuan orang lain. Ya, mungkin itulah alasan rindu.

Saya pun menjemput Umi di stasiun dekat rumah. Memberikan pelayanan yang terbaik sampai mengantarnya pulang. Dan pada saat mengantar inilah saya menangkap wajah berseri Umi secara langsung.

Hal sederhana yang saya lakukan hanya mengantarnya ke stasiun Tanah Abang, dan padahal saya ingin ke Stasiun Sudirman untuk ke IBF Jakarta. Umi menangkap kecemasan saya karena ketinggalan kereta.

Sudah ngga apa-apa, nanti ketinggalan lho keretanya. Umi sama orang lain saja. Begitu Umi katakan.

Saya tersenyum, Nggak Umi, aku ingin memastikan Umi baik-baik saja.

Disitulah saya melihat wajah Umi tersenyum. Merasa diperhatikan. Ahh ... alangkah bahagia sekali jika saya bisa membahagiakan Ibunda dari istri saya.

Kereta keduapun datang, lalu Umi memaksa saya agar saya segera naik kereta tersebut.

Sudah nggak apa-apa.

Dengan berat hati saya mengiyakan. Tapi sebelumnya saya sampaikan ke Umi kalau sudah sampai segera kabari. Umi pun setuju. Akhirnya saya pamit dan memberikan senyum saya ke Umi.

Maka, ketika menjadi seorang anak, saya meyakini bahwa kebahagiaan pernikahan bukan hanya kebahagiaan kita dan pasangan, akan tetapi, kebahagiaan pernikahan adalah kebahagiaan kedua pasangan dan kedua keluarga. Agar silaturahmi semakin sambung menyambung dengan tali ukhuwah yang sangat kuat. Hingga ikatan pernikahan sampai kepada tujuan akhir yang indah, yakni surga Allah subhanahu wataala.

Akhir dari tulisan ini sayapun mendapat kabar gembira kalau Umi sudah sampai di Serang dengan kondisi baik-baik saja. Disitulah saya merasa bahwa kekuatan dua keluarga benar-benar terasa.






Mereka Tidak Pernah Terlambat




PADA saat hari seminarnya di sebuah universitas, pemuda itu datang lebih awal. Seminar itu dijadwalkan mulai pada jam 8 pagi. Pemuda itu pun datang sebelum jam 8 pagi. Ia memang berusaha agar tidak mau mengecewakan panitia. Ia ingin memberikan kesan terbaik sebagai pembicara. Begitulah prinsip pemuda itu. Tidak mau datang terlambat.

Ketika sampai di gedung seminar, jam menunjukan pukul 8 pagi. Ia terkaget melihat bangku peserta yang masih kosong. Ia berusaha menunggu hingga jam 8 lebih namun hanya beberapa yang baru hadir. Panitia pun menemani berbincang sembari menunggu peserta datang. Pemuda itu pun antusias menanggapi pembicaraan panitia dengannya. Obrolan pun berlangsung sangat menarik.

Salah satu panitia tak saya sebutkan disini- membisikan sebuah kalimat. Kang, maaf ya namanya juga Jam Indonesia Jam karet. Ups, pemuda itu pun tersenyum simpul. Menyemai kalimat menyesakan itu dengan bingkai bermental pejuang. Tidak apa-apa, kata pemuda itu sembari tersenyum. Akhirnya seminar itu dimulai tepat pukul 10.00 pagi.

Dibalik senyumnya, ia terngiang-ngiang satu hal. Apa hubungannya kata terlambat dengan Indonesia? Apa semua kata terlambat memang pantas disematkan untuk Negara ini? Oh kurasa tidak. Mari! Akan kuajak engkau berjalan sebentar. Melihat dunia ini yang amat luas. Bukan hanya kepahaman kita dengan kata jam karet dan jam ala Indonesia. Kemana? Keruang pikirku untuk sebentar saja

Jam ala Indonesia

Jika kita mengira bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang tepat disematkan untuk istilah keterlambatan dengan Jam Karet atau Jam Indonesia, maka aku berpikir selainnya. Aku lebih berpikir bahwa kata yang pantas disematkan adalah Indonesia Tidak Pernah Terlambat. Ya benar, Indonesia tidak pernah terlambat. Itulah ruang pikirku.

Jauh dari itu, Indonesia sama sekali tidak pantas disematkan kata terlambat. Karena Indonesia tidak pernah terlambat. Indonesia selalu menghargai kesempatan dan tepat waktu. Ya, itu benar.

Kita tinggalkan dulu Indonesia, mari ku ajak berkeliling Negara luar lainnya. Sebut saja Negara X. Entah mengapa di tatanan kehidupannya mereka tidak pernah terlambat dan tidak mau terlambat. Mereka sangat menghargai waktu. Untuk menjelaskan kebenaran Negeri X ini, saya persilahkan Dr. Raghib As-Sirjani mengisahkan perjalanannya di negeri X. Saya pernah, tulis Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Keajaiban Shalat Subuh. Ingin menghadiri suatu seminar. Saya agak terkaget karena acaranya dimulai pukul 06.00 pagi. Saya berpikir hal itu tidak mungkin terjadi. Biasanya acaranya dimulai pukul 08.00 pagi. Namun hal ini membuatku penasaran. Maka aku pun pergi ke seminar itu sebelum jam 06.00 pagi. Alangkah terkagetnya aku bahwa peserta seminar sudah mengisi bangku-bangku yang kosong dan ruangan itu sudah penuh dengan lautan manusia.

Peserta seminar itu sudah datang sebelum waktunya. So, alangkah indah tinggal di negeri X itu. Mereka memiliki warga yang sangat membanggakan. Saya sendiri pun terkejut membaca kisah itu. Entah mengapa saya jatuh hati terhadap sikap mereka yang sangat menghargai waktu. Mereka telah membuat seorang Dr. Raghib As-Sirjani seorang ulama terkenal- menulis kisah indah yang secara otomatis mengharumkan Negara tersebut. Bayangkan jika sejuta orang yang telah membaca bukunya, maka secara otomatis juga sejuta orang telah percaya bahwa Negara X adalah Negara yang sangat membanggakan. Begitu

Kita kembali ke Negara kita tercinta, Indonesia. Sedikit saya menceritakan betapa pendahulu kita mengajarkan banyak hal. Sebut saja Ir. Soekarno, yang mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia Pasti Merdeka, dan tidak akan pernah terlambat. 17 Agustus 1945 ditanamkan sebagai sebuah tanggal yang tidak akan pernah terlambat untuk merdeka. Indonesia pasti merdeka. Sebuah kepastian yang amat memesona dari leluhur kita.

Kebaikan adalah sebuah keniscayaan. Dan kembalinya Indonesia harum dengan ketepat waktuan adalah niscaya. Indonesia tidak akan pernah membawa dirinya. Tapi kitalah yang membawa Indonesia. Jadi, renungan pemuda diatas bukanlah hal kosong, melainkan hal sederhana yang sulit dipahami oleh seseorang yang membuat alasan klasik, lalu menyalahkan budaya. Sungguh, menyalahkan budaya adalah alasan yang tidak tepat, bukan?

Di jalan kemenangan  kita yakin bahwa suatu saat perubahan yang sangat mendasar itu ada di dalam diri kita. Ya, diri kitalah sang perubahan itu. Perubahan yang amat sederhana, namun membawa dampak yang luar biasa bagi diri. Terutama bagi Indonesia agar tak senantiasa dicaci. Mengenang hal ini, saya jadi terngiang nasehat Guru kita semua tentang salah satu rahasia 3 M nya, Mulailah dari diri sendiri, Begitu Aa Gym menasehati. Dan saya pun ikut menambahkan, Jika menginginkan perubahan, mulailah dari diri sendiri, untuk berjanji tidak mau terlambat lagi.

Mereka yang Tidak Pernah Terlambat

Sungguh, kata Umar bin Khatab radiyallahu anhu. Engkau adalah pemburu kebaikan. Lanjut Umar atas kekagumannya kepada Abu Bakar Ash-Siddiq.

Pujian ini diucapkan Umar bin Khatab radiyallahu anhu  atas pembicaraan pagi itu. Imam Jalaluddin As-Suyuthi merekam pembicaraan ini di dalam Tarikh Al-Khulafanya. Setelah shalat subuh berjamaah, para sahabat berkumpul bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Terucaplah sebuah pertanyaan dari lisan termulia. Siapa diantara kalian yang puasa hari ini? Sabda Rasulullah.
Maka, Umar bin Khatab menjawab dengan jujur, Wahai Rasulullah, saya tidak berniat puasa semalam, maka saya berbuka hari ini.

Mendengar jawaban Umar bin Khatab, bak gigi gemeretak, suara mendayu pun terbuka, 
Alhamdulillah, saya semalam berniat puasa dan saya kini sedang berpuasa. Ternyata suara itu dari lisannya Abu Bakar Ash-Siddiq.

Lalu adakah diantara kalian yang mengunjungi orang sakit?

Kita belum memasuki siang, kata Umar bin Khatab tegang. Lalu bagaimana kita bisa 
mengunjungi orang sakit?

Saya mendengar bahwa Abdurrahman bin Auf sakit, jawab Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka sembari berangkat saya melewati rumahnya untuk melihat bagaimana kondisinya di pagi ini.

Umar terkesima dengan penuturan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Lalu, lanjut Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Siapakah diantara kalian yang memberi makan orang miskin di pagi ini?

Kami shalat wahai Rasulullah, dan matahari belum juga terbit. Umar bin Khatab berkomentar.

Saat memasuki masjid, kenang Abu Bakar Ash-Siddiq. Saya dapati seseorang meminta-minta. Saya dapatkan sepotong roti dari Abdurrahman, saya ambil roti itu dan saya berikan kepada orang yang meminta-minta tadi.

Lagi-lagi Umar bin Khatab terkesima.

Kita tinggalkan sebentar kisah ini. Abu Bakar, sang pemburu kebaikan. Ia benar-benar melakukan sesuatu yang mengagumkan. Berusaha menjadi yang pertama, the first. Sebab tak jarang, keterlambatan dimaknai dengan biasa-biasa saja, lumrah dan wajar. Tapi tidak bagi Abu Bakar, semua waktunya merupakan ladang kebaikan.

Mengapreasiasi amal shaleh Abu Bakar Ash-Siddiq ini, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memberikan sebuah kabar yang sangat indah, mencengangkan dan dirindukan siapa saja yang hadir disitu. Bagaimana tidak? Kalimat pamungkas dari Rasulullah ini sangat dicintai para sahabat.

Kabar gembira bagimu dengan surga.

Terdiamlah seluruh jamaah. Begitulah, sebuah apreasiasi bagi mereka yang selalu ingin menjadi yang pertama, tidak mau terlambat dan berusaha sesungguh mungkin untuk tidak terlambat. Di dalam rasa cinta kepada kebaikan, kata terlambat tidaklah ada di dalam kehidupan kita. Terlambat hanya ada bagi orang-orang yang belum ingin bersegera meraih kebaikan. Dua kalimat bagimu surga adalah kalimat terindah yang dimaknai oleh orang-orang yang bermental pejuang.

Di jalan kemenangan, menjadi orang yang pertama adalah sebuah karakter yang harus mendarah daging. Mereka lebih senang menunggu ketimbang ditunggu dan dicemaskan oleh orang banyak. Dan ketika hadir, ada rona kekecewaan dari para sahabat, teman maupun saudara-saudara kita. Bukankah sangat indah jika kita bersama belajar menghargai waktu yang telah kita janjikan?

Di jalan penuh perjuangan meraih kesuksesan, menjadi seseorang yang datang lebih awal, lebih pagi, sebelum waktunya, merupakan awal kemenangan sempurna. Bagimu surga, bagimu surga. Maka berlomba-lomba menjadi yang pertama adalah hal yang indah. Sehingga, tak ada lagi yang beralasan dengan jam karet atau jam ala Indonesia lagi. Namun, yang terucap adalah kata  maaf dan penyesalan atas keterlambatan, bukan mencari alasan-alasan.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran [3] : 133)

Selamat datang para pejuang. Mari berlomba menjadi yang pertama!

Jika Perempuan Berkata

Jika Perempuan Berkata - Jika perempuan berkata tidak apa-apa, terkadang di dalam hatinya ada apa-apa. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata tidak masalah, terkadang di dalam dirinya ada sebuah masalah. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata jangan perdulikan aku, ter-kadang dirinya ingin diperdulikan. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata biarkan aku sendiri, terkadang ia ingin ditemani. Berusaha menyembunyikannya.

Perempuan, hatinya lebih dalam dari samudra.

Perempuan, ia menyimpan rahasia dalam diam.

Perempuan, ia membuka rahasia lewat tangisan.

Dan perempuan, ketika masalah datang, ia membutuhkan sandaran.

Perempuan, ketika masalahnya datang terkadang ia butuh seseorang yang mau mendengarkannya. Mendengarkan cerita-nya dan mendengarkan masalahnya.

Terkadang begitulah perempuan. Seorang mahluk yang tercipta sangat unik di bumi ini.

***

Skenario Allah Maha Dahsyat

www.kaskus.com
Mengawali tulisan ini, sejenak saya ingin bersyukur atas nikmat Allah hari ini. Banyak sekali kebahagian yang aku dapatkan sebelumnya, sampai tak terhitung. Allah memang Maha Baik. Tak terhitung sudah besarnya nikmat yang Ia berikan.
Jujur, tulisan ini adalah kakaknya dari tulisan Tentang Impian dan Orang tua'. Kalau kamu belum baca bagian itu kayaknya nggak lengkap deh. Tulisan ini juga bukanlah impian yang terbangun dari tidur. Bukan, tulisan ini hanya berusaha menyempurnakan tulisan pertama yang tidak sempurna. Sebab, yang sempurna hanya rokok. Hehehe.
Hanya candaan, yang sempurna hanya Allah subhanahu wataala. Ok, kita lanjut cerita yang sebelumnya masih bersambung. Penasaran ya? Hehe ma-af membuat lama menunggu.
Jadi, setelah aku diterima menjadi mahasiswa di Bandung. Aku tinggal di sebuah kos yang kebetulan dekat sekali dengan kampus. Aku menghabiskan waktu belajar di kampus, kos dan masjid. Saat itu temanku mash sedikit karena masih baru tahun pertama kuliah. Masih dalam bulan pertama masuk kuliah.
Ah  ujian kembali menyapa ku dengan lembut. Sebulan sanggup membayar uang kos, namun di bulan ke dua aku tidak sanggup lagi membayar. Ditambah dengan keuangan orang tua yang pas-pasan. Kalau aku minta ke orang tua, itu hanya memberatkan keluarga. Jadi, kuputuskan untuk mencari tempat tinggal yang gratis.
Allah menyayangi hamba-Nya. Membelai lembut agar kita lebih banyak belajar arti kehidupan. Masa kekanak-kanakan ku berubah saat itu. Saat aku harus mencari tempat tinggal yang gratis, aku jadi lebih banyak berpikir tentang masa depan. Aku juga belajar arti kedewasaan, tanggung jawab dan mandiri. Dan aku juga banyak belajar untuk bersabar dan tawakal. Aku menemukan satu hal, mungkin masjid bisa menerimaku, tak apa jika aku harus menjadi marbot masjid, asalkan ada tempat tinggal yang nyaman tak masalah.
Sembari berjalan kuliah, aku berusaha mencari-cari masjid yang mau menerimaku. Aku berkeliling sekitar kampus. Aku ingat, ada tiga masjid yang terdekat, tapi semuanya menolak dengan alasan banyak hal. Harapanku pupus.
Aku hampir putus asa. Beruntung ada orang baik yang Allah kirimkan saat itu. Namanya Pak Ade. Beliau menawarkan agar tinggal di sebuah rumah temannya. Gratis. Ah langsung saja aku iyakan. Tapi masalahnya hanya jarak yang jauh dari kampus. Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan untuk sementara ini. Aku resmi tinggal di rumah Bang Ulung di daerah Karapitan, rumah temannya Pak Ade.
Bang Ulung orangnya baik, perhatian, dan peduli denganku. Aku merasakan beliau seperti teman. Meskipun beliau sudah menikah dan punya anak, tapi perhatiannya pun ditujukan padaku. Aku sudah menggangap Bang Ulunk seperti kakak sendiri.
Dua bulan berlalu saya tinggal bersama Bang Ulung dan keluarga. Sayup-sayup rasa tidak enak hati menyelimutiku selama dua bulan terakhir. Aku sudah terlalu nyaman samapi lupa bahwa aku sudah membuat orang lain repot dan kesusahan. Kudengar juga bahwa rumah Bang Ulung adalah rumah kontrakan dan akan segera habis waktunya.
Aku berpikir keras lagi. Mencari tempat tinggal yang baru. Bagaimana ini?
Alhamdulillah, kembali Allah menunjukan kuasanya. Aku dibolehkan tinggal di UKM kampus untuk sementara waktu. Alhamdulillah
Tinggal di UKM kampus membuahkan pelajaran yang beharga. Saat itu lah aku memulai bisnis kecil-kecilan di kampus. Hitung-hitung untuk menutupi kebutuhan hidup selama tinggal di perantauan yang jarang sekali mendapat kiriman. Hehehe
Aku mencoba bisnis kue, makanan ringan dan minuman kecil. Alhamdulillah, meski sedikit aku banyak pelajaran yang berharga. Lama kelamaan, aku mulai bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari lewat jualan itu. Alhamdulillah
Ujian datang lagi. Ah  kok banyak ujian ya. Lebaiiiii . Bukan, bukan itu. Maksudku memang benar-benar ujian kok. Jadi, saat itu muncul kebijakan kampus untuk tidak memperbolehkan mahasiswa tinggal di kampus. Mendengar itu aku langsung lemesss, dimana lagi aku harus tinggal? Kok ujian nggak udah-udah ya?
Kata orang bijak, Ujian itu untuk menaikan derajat. Betullll, aku setuju kalau sama yang beginian. Allah pasti punya rencana lain, pasti.
Dan inilah puncak ujian tempat tinggal yang aku rasakan. Awalnya aku shalat dzuhur berjamaah di Mushala kampus, eh tiba-tiba ada kakak kelas yang ngajak ngobrolgtu dah. Ngalor ngidul. Nah, pas dia ngomong ada pesantren yang menerima mahasiswa aku langsung terbelalak. Waaaw, ada pesantren yang khusus mahasiswa, super banget!
Dia langsung ngasih brosul pesantrennya. Begitu liat brosurnya, nggak pake lama lagi buat bilang iya, mau, dan mau banget. Nah, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di pesantren.
Bulan Februari akhir menjadi saksi bisu bahwa aku sudah menjadi seorang santri. Yeee #TepokTangan.
Disini, di pesantren ini sampai saat ini, aku masih menikmati setiap episode kehidupan yang baik. Belum lagi punya lingkungan positif, teman-teman yang keren-keren dan memotivasi aku untuk terus maju. Buktinya, buku pertamaku yang lebih dahulu terbit ditulis saat menjadi santri. Wah wah wah. Buku kedua juga begitu, sampai saat ini, menulis tulisan ini pun di pesantren.
Nah, aku jadi merasa baru menjadi orang sekarang. Emang dulu kemana, nggak tahu. Hehehe. Masih jadi piyik kali ya. Jadi, bener banget kalau skenario Allah itu indah banget, brow. Mantap, cakep, bikin aku spechlees. Perjalanan ini juga mengajarkan aku untuk terus menatap masa depan yang baik, yang nggak suram kaya air terjun 30 meter, hehe. Oh iya, hal yang paling penting dalam menjalani setiap ujian adalah sabar, kalem, dan terus tatap masa depan. Jangan nge-galaumulu. Hidup ini kan nggak selebar daun kelor, betul atau betul?

Nah, ini cerita hidupku, mana cerita hidupmu?

Menunggu dan Ditunggu



Hujan deras di luar sana membuatku mengingat sesuatu yang telah lama berlalu. Sekisah masa lalu yang tak akan pernah aku melupakannya. Kisahnya sederhana, saat umurku masih sepuluh tahun aku sering dipanggil gadis kecil yang cantik. Ibu dan Ayah selalu menilaiku begitu. Ibu dan Ayah sangat pandai membuat pipiku berubah menjadi merah tomat.
Kini, usiaku sudah tak seperti dulu, memasuki umur 20 tahun. 20 tahun, sebuah bilangan umur yang dialami banyak perempuan sepertiku. 20 tahun, sebuah bilangan umur yang menyimpan perasaan rindu pada seseorang yang akan menjemputnya. Menjemput untuk menjadi bidadari dunia dan akhiratnya.
Bayangan itu hilang ketika Ibu mendekatiku.
Kamu sudah bisa menentukan, Nak. Ibu akan mengajarkanmu satu hal,
Apa itu, Bu?
Jadilah wanita yang ditunggu, bukan wanita yang menunggu,
Maksudnya, Bu?
Kelak akan ada seseorang yang datang untuk mengambilmu dari Ayah dan Ibu. Ketika hal itu terjadi, tentu saja Ibu akan mengikhlaskan. Tapi Ibu tak mau kamu menjadi wanita yang menunggu. Ibu ingin agar kamu menjadi wanita yang ditunggu oleh seseorang yang akan meminta izin kepada Ayah dan Ibu,
Kau tahu? Ibu meneruskan sembari mengusap kelapaku. Hakikat wanita itu ditunggu, bukan menunggu. Biarkanlah para laki-laki yang menunggumu atau tidak sama sekali. Karena hakikat laki-laki memang suka menunggu. Mungkin diluar sana, ada seorang laki-laki yang telah mempersiapkan segalanya untuk mengambilmu dari Ayah dan Ibu. Dan sekarang, laki-laki itu sedang menunggu kesempatan dan waktu yang tepat,
Biarkanlah laki-laki itu menunggu. Dan kamu tak perlu menunggunya, sebab Ibu ingin agar kau menjadi seorang wanita yang ditunggu.
Aku berpikir keras mendengarkan penjelasan Ibu. Ibu benar-benar memberikanku pelajaran yang rumit hari ini. Menunggu, ditunggu dan apapun itu. Aku belum bisa menerjemahkannya dalam kata-kata.
Aku sayang Ibu Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Terputuslah percakapan ini. Menjadi hening. Terdiam lama dalam pangkuan Ibu.

Merindukan Dia



Merindukan dia. Seperti kerinduan rintik hujan yang jatuh cinta kepada bumi. Setiap tetesnya menyuburkan. Setiap tetesnya menyuburkan tanah yang gersang.
Merindukan dia. Seperti kerinduan bintang yang jatuh cinta kepada bulan. Setiap terangnya bintang mencahayakan. Setiap pancaran cahaya bintang membuat yang dicinta menjadi lebih benderang.
Merindukan dia. Seperti kerinduan malam yang jatuh cinta kepada fajar. Setiap penantian malam selalu menggetarkan. Setiap pertemuan keduanya melahirkan keindahan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan langkah yang jatuh cinta kepada perjalanan. Seperti ingin mengungkit kenangan. Seperti indahnya langkah dalam setiap perjalanan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan pelangi yang jatuh cinta kepada warna. Setiap deretan warna memberikan keindahan. Setiap deretan warna membawa kebahagiaan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan kejora yang jatuh cinta kepada pagi. Setiap hari berharap bisa menemukan pagi. Setiap hari selalu mengharapkan bertemu pagi.
Merindukan dia. Seperti kerinduan angin yang jatuh cinta kepada udara. Setiap hembusannya membuat kesejukan. Setiap pertemuan keduanya mendatangkan kebahagiaan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan akar yang jatuh cinta kepada daun. Setiap kerinduan membawa kekuatan. Setiap kerinduan mempengaruhi ikatan yang saling menguatkan. Meski tak bisa bertemu tetap saling memperdulikan, bukan?
Merindukan dia yang masih dirahasiakan-Nya.

Tentang Impian dan Orang Tua



Aku tidak pernah bercita-cita untuk kuliah selepas lulus SMA. Keluarga lebih menyarankan aku untuk bekerja saja. Kondisi ekonomi yang pas-pas-an membuat alur kehidupan keluarga berbeda. Sudah menjadi tradisi keluarga bahwa seorang anak lelaki yang lulus dari sekolah harus langsung bekerja, mencari uang, dan membantu ekonomi keluarga.
Tahun 2012 saya lulus dari sekolah SMK. Tak terbayang kebahagiaan keluarga saat itu. Mereka telah lama menanti agar saya bisa segera bekerja. Rona senyum dan kegembiraan pun terpancar jernih dari wajah kedua orang tua, Ibu dan Bapak. Memang itulah yang mereka tunggu.
Bapak hanya seorang pedagang keliling yang pendapatannya pas-pasan. Cukup, kadang tak mencukupi. Sedangkan ibu hanyalah seorang Ibu rumah tangga yang terkadang membantu berjualan gorengan, nasi uduk dan mie goreng di sekolah SD kampung.
Aku masih punya kakak dan adik. Kedua kakak ku sudah berkeluarga dan sibuk dengan urusan keluarganya. Dan kakak mewariskan tradisi ini sampai kepada pundakku. Dua adik laki-laki dan dua adik perempuan yang masih sekolah menunggu uluran tanganku. Berharap, aku akan membantu mereka agar adik-adik tetap lanjut sekolah. Harapan mereka, ada di atas pundakku. Sebagai seorang laki-laki dikeluarga, aku pun setuju bahwa aku harus bekerja.
Masih terngiang-ngiang sampai saat ini ditelinga perkataan Ibu saat itu, Dan kata Ibu sembari menatapku. Ibu doakan Kamu sukses ya. Biar bisa bantu adik-adik yang masih dibawah. Dan aku pun mengangguk pelan.
Beberapa hari kemudian aku pun mengumpulkan berkas-berkas lamaran pekerjaan. Aku mencari informasi-informasi tentang lowongan di koran, lewat teman maupun saudara. Dan Alhamdulillah, Allah memudahkan ikhtiar saya dalam niat membantu orang tua. Dalam waktu singkat aku sudah diterima di perusahaan swasta di kota Bandung.


Aku bekerja penuh keyakinan. Ujung mataku boleh saja memandang ke depan, tapi isinya adalah bayangan keluarga dan adik-adik yang menungguku dirumah. Menunggu senyum dariku yang ketika awal bulan berganti. Ah disinilah saya merasakan benar-benar menjadi seorang kakak. Lalu, selama ini aku kemana? Entahlah.
Ditengah perjalanan, aku dikejutkan dengan berita yang akau dapat dari Om saat itu. Ada tawaran beasiswa dari pemerintah untuk kuliah gratis asal syaratnya dipenuhi. Aku masih ingat, saat itu Om membacakan sebuah ayat Al-Quran yang sampai saat ini saya ingat.
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.(Q.S. Ar-Rahman [55] : 33)
Om menyemangatiku untuk berani mengambil keputusan, berani mencoba dan berani keluar dari zona nyaman. Dalam sekejab, Om berhasil membuatku yakin untuk bisa kuliah. Apalagi aku sangat yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Rezeki kan ada dimana-mana, pikirku saat itu. Betul kan?
Aku membulatkan tekad, yakin bahwa aku bisa meraih penghasilan lebih ketika kuliah nanti. Kan bisa saja Allah memberikan rezeki yang tak terduga. Rezeki tersebar dimana-mana kok. Kata Om, Jangan pernah takut tidak mendapat rezeki, manusia itu sudah ditentukan rezekinya. Jadi, dimanapun berada, pasti diberikan rezekinya. Nggak akan tertukar rezekinya. Begitu Om menyemangatiku agar selangkah lebih maju.
Satu hari berikutnya, aku bercerita kepada Ibu tentang keinginan untuk kuliah. Merantau ke kota lain. Belajar dan mencari titik kehidupan yang baru. Aku izin pada Ibu.
Ibu menatapku dengan pandangan haru, kukira Ibu akan menyetujui langkahku, ternyata tidak. Sebuah kata-kata lembut namun tajam terucap dari lisan mulia. Menyadarkanku dari lamunan panjang.
Dan kalau kamu tinggal di luar sana, biaya dari mana? Nanti tinggal dimana? Siapa yang akan bantu adik-adik?
Ah aku urung untuk meneruskan keinginanku untuk kuliah. Stop, tak tega rasanya.
Sejak saat itu, sejak melihat tatapan Ibu, aku berusaha menghindari komunikasi dengan Om. Takut-takut kalau Om berhasil menyuntik semangatnya kepadaku lagi. Dan benar, selang beberapa hari aku tak bertatap lagi dengan Om, demi menjaga perasaan Ibu.
Perasaan lega terputus lagi. Ternyata Bapak sering berkomunikasi dengan Om. Bapak memberitahuku tentang tawaran dari Om. Bapak sih setuju-setuju saja. Toh, itu semua demi kebaikan ku. Akhirnya, pada suatu sore, saat semua berkumpul di ruang tengah, Bapak menceritakan hasil obrolannya dengan Om dan bapak setuju kalau aku merantau ke kota lain.
Diusiaku yang ke 18 tahun, aku dipaksa harus merantau oleh Bapak. Kadang, aku suka mendengar perdebatan Ibu dan Bapak soal permasalahanku. Bapak setuju, sedangkan Ibu agak menolak. Bukan, bukan karena Ibu tak menyetujui, tapi Ibu khawatir kepadaku tentang nasib diriku di kota yang jauh dengan rumah. Dan Bapak pun benar, ingin agar aku bertambah dewasa dan mandiri. Keduanya benar dan mempunyai alasan yang kuat.
Oh malangnya diriku. Aku menjadi sebab pertengkaran mereka. Ingin sekali kukatakan, Sudah, sudah jangan bertengkar! kau akan menurut kepada keputusan yang paling baik. Tapi aku urungkan. Bodohnya diriku saat itu, masih mental kekanak-kanakan. Tak punya nyali untuk menentukan, tak berani ambil keputusan.
Sejak saat itu aku tak banyak bicara. Aku lebih baik diam saja. Tak membicarakan satu hal apapun terkait keinginanku untuk kuliah di luar kota. Hanya saja, Allah berkehandak lain. Ibu menghampiriku, ia menatapku dengan lamat-lamat penuh arti cinta.
Dan  kalau kamu mau kuliah, sekarang Ibu ridho. Ibu yakin, suatu saat kamu akan sukses.
Mendengar kata-kata itu hatiku berbunga. Seperti ada angin segar yang menyejukan hati yang gersang. Menyemai lembut hingga ke relung sanubari. Maka detik itu pula aku mantap mengatakan, Bismillah, aku akan berusaha meraih beasiswa itu.
Aku mengadukan keputusan ini kepada Om. Dan dengan senang hati, Om mengurus semua keperluanku untuk mendapatkan beasiswa. Seperti ijazah, surat keterangan lulus, sertifikat prestasi sampai-sampai aku pun mengumpulkan hasil rata-rata nilai rapotku.
Bimillah, aku mantap menatap masa depan, tanah baru, keluarga baru dan sahabat baru. Tepat pada bulan Agustus aku meluncur ke Bandung untuk melengkapi persyaratan penerimaan beasiswa bersama Om. Setelah persyaratan cukup, tinggal menunggu waktu tes tulis dan wawancara. Aku pun kembali ke rumah dengan perasaan lega. Restu Bapak dan Ibu sudah kudapatkan. Impian ku untuk kuliah sebentar lagi akan terwujud.
Aku pulang dari Bandung dengan perasaan berbunga dan lega. Aku tidak merasa khawatir tinggal dimana dan dengan siapa. Aku hanya yakin, Allah akan menempatkanku ditempat yang diridhoi-Nya. Bagiku, dimanapun tempatnya, asal Allah ridho, maka aku pun ridho. Begitu pikirku.
Sehari setelah kepulangan, aku dikejutkan dengan kata-kata kakak. Rupanya kakak nggakbegitu setuju aku kuliah di Bandung. Kakak lebih memintaku untuk bekerja saja sembari kuliah. Aku ingat, bagaimana kakak memarahiku saat itu, KALAU TETEP KE BANDUNG, JANGAN TANYA KE KAKAK KALAU ADA APA-APA!!! EMANGNYA KELUARGA KITA BANYAK DUIT??? UANG DARI MANA KALAU KAMU KULIAH!!!
Ah menetes sudah air mata hati dan jiwaku. Semangatku luntur kembali. Seolah-olah aku dibawa melayang untuk memikirkan kembali bagaimana kehidupan luar tanpa dekat dengan orang tua? Uang dari mana? Akan tinggal dimana?
Sempurna sudah semangat yang telah aku tanam selama ini
Ujian tulis dan wawancara itu tetap berlangsung meski semangatku tak seperti dulu. Tak seperti pertama kali aku datang ke kampus ini. Semangat tinggi yang kubawa ke kampus ini pertama kali, kini hilang dibawa alunan angin yang melambai syahdu.
Aku ujian tertulis dengan seadanya, tidak dengan semangat. Bukan, bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku berharap aku tidak diterima dikampus ini. Jadi, aku tetap melanjutkan sesuatu yang telah aku jalani, tapi aku berusaha menghindarinya.
Tes wawancara pun kujawab dengan seadanya. Datar-datar saja. Mudah-mudahan dengan begitu aku tidak diterima. Tidak ada semangat seperti dulu lagi saat wawancara. Aku pasrah dengan keadaan. Aku pasrah dengan ke Maha Adilan Allah.
Aku pulang membawa sejuta cerita dalam hidup. Antara aku harus menilai diri payah tak bisa memperjuangkan mimpi- atau memang aku mengalah dengan kemauan keluarga. Entahlah saat itu aku hanya pasrah.
Aku menceritakan kepada keluarga tentang apa yang aku lakukan. Tentang ketidak semangatan ku mengerjakan ujian dan tes wawancara. Aku bilang kepada Ibu, Semoga saja kamu nggakditerima, Bu. Dan ibu hanya terdiam.
Selang beberapa hari kemudian. Saya ingat, satu bulan kemudian, tepatnya bulan September, pengumuman kelulusan pun diumumkan. Betapa kagetnya ketika nama saya menjadi daftar orang-orang yang diterima menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa unggulan. Allah batinku. Mungkinkah ini skenario yang terbaik dari-Mu?
Aku terisak di pangkuan Ibu, antara menangis dan bingung. Antara dua pilihan yang berat : kesempatan dan ketidak restuan. Pilih yang mana? Sebagai seorang anak aku hanya bisa menyerahkan pilihan ini kepada Ibu dan Bapak. Jika mereka merestui, dengan bismillahaku berangkat. Jika tidak, maka aku akan menolak. Aku sudah tidak perduli dengan nasehat kakak, yang aku harapkan saat itu adalah restu Ibu dan Bapak.
Aku mencoba berbicara kepada Ibu. Aku ingat, selepas shalat aku menghampiri Ibu. Duduk didepannya sembari menatap wajahnya yang indah. Bu, menurut Ibu bagaimana? kamu menjadi salah satu orang yang diterima beasiswa unggulan. Mohon pilihannya, Bu, apa kamu batalkan atau terima?
Aku ingat, saat itu Ibu terharu sekaligus sedih. InsyaAllah Ibu setuju, Dan. Kata Ibu. Sebuah kata yang sangat aku syukuri saat itu. Tapi  Ibu melanjutkan. Ahh  jika ada kata tapi berarti Nanti kamu tinggal dimana? Sama siapa? aku menagis saat itu. Ternyata Ibu memikirkan keadaanku nanti. Saat itu aku jadi belajar, bahwa orang yang pertama kali ingin kubahagiakan adalah Ibu.
Bapak pun menyetujui. Hanya saja, cara bicara Bapak tak seperti Ibu. Bapak langsung mengiyakan saja dengan cepat. Tanpa pikir panjang langsung bilang yes. Maka dengan bismillah, aku bertekad untuk tetap melanjutkan study meski kakak tidak setuju.
Dan pada saat 17 September 2012, saya resmi menjadi Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Bandung. Alhamdulillah, wasyukrulillah, ala nimatillah.

Jadi, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?

Mau Menikah?

Siapa sih yang tidak ingin menyegerakan ibadah ini; menikah. Tentu saja menikah adalah ibadah yang paling rahasia kapan dan siapa yang k...