Mereka Tidak Pernah Terlambat




PADA saat hari seminarnya di sebuah universitas, pemuda itu datang lebih awal. Seminar itu dijadwalkan mulai pada jam 8 pagi. Pemuda itu pun datang sebelum jam 8 pagi. Ia memang berusaha agar tidak mau mengecewakan panitia. Ia ingin memberikan kesan terbaik sebagai pembicara. Begitulah prinsip pemuda itu. Tidak mau datang terlambat.

Ketika sampai di gedung seminar, jam menunjukan pukul 8 pagi. Ia terkaget melihat bangku peserta yang masih kosong. Ia berusaha menunggu hingga jam 8 lebih namun hanya beberapa yang baru hadir. Panitia pun menemani berbincang sembari menunggu peserta datang. Pemuda itu pun antusias menanggapi pembicaraan panitia dengannya. Obrolan pun berlangsung sangat menarik.

Salah satu panitia tak saya sebutkan disini- membisikan sebuah kalimat. Kang, maaf ya namanya juga Jam Indonesia Jam karet. Ups, pemuda itu pun tersenyum simpul. Menyemai kalimat menyesakan itu dengan bingkai bermental pejuang. Tidak apa-apa, kata pemuda itu sembari tersenyum. Akhirnya seminar itu dimulai tepat pukul 10.00 pagi.

Dibalik senyumnya, ia terngiang-ngiang satu hal. Apa hubungannya kata terlambat dengan Indonesia? Apa semua kata terlambat memang pantas disematkan untuk Negara ini? Oh kurasa tidak. Mari! Akan kuajak engkau berjalan sebentar. Melihat dunia ini yang amat luas. Bukan hanya kepahaman kita dengan kata jam karet dan jam ala Indonesia. Kemana? Keruang pikirku untuk sebentar saja

Jam ala Indonesia

Jika kita mengira bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang tepat disematkan untuk istilah keterlambatan dengan Jam Karet atau Jam Indonesia, maka aku berpikir selainnya. Aku lebih berpikir bahwa kata yang pantas disematkan adalah Indonesia Tidak Pernah Terlambat. Ya benar, Indonesia tidak pernah terlambat. Itulah ruang pikirku.

Jauh dari itu, Indonesia sama sekali tidak pantas disematkan kata terlambat. Karena Indonesia tidak pernah terlambat. Indonesia selalu menghargai kesempatan dan tepat waktu. Ya, itu benar.

Kita tinggalkan dulu Indonesia, mari ku ajak berkeliling Negara luar lainnya. Sebut saja Negara X. Entah mengapa di tatanan kehidupannya mereka tidak pernah terlambat dan tidak mau terlambat. Mereka sangat menghargai waktu. Untuk menjelaskan kebenaran Negeri X ini, saya persilahkan Dr. Raghib As-Sirjani mengisahkan perjalanannya di negeri X. Saya pernah, tulis Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Keajaiban Shalat Subuh. Ingin menghadiri suatu seminar. Saya agak terkaget karena acaranya dimulai pukul 06.00 pagi. Saya berpikir hal itu tidak mungkin terjadi. Biasanya acaranya dimulai pukul 08.00 pagi. Namun hal ini membuatku penasaran. Maka aku pun pergi ke seminar itu sebelum jam 06.00 pagi. Alangkah terkagetnya aku bahwa peserta seminar sudah mengisi bangku-bangku yang kosong dan ruangan itu sudah penuh dengan lautan manusia.

Peserta seminar itu sudah datang sebelum waktunya. So, alangkah indah tinggal di negeri X itu. Mereka memiliki warga yang sangat membanggakan. Saya sendiri pun terkejut membaca kisah itu. Entah mengapa saya jatuh hati terhadap sikap mereka yang sangat menghargai waktu. Mereka telah membuat seorang Dr. Raghib As-Sirjani seorang ulama terkenal- menulis kisah indah yang secara otomatis mengharumkan Negara tersebut. Bayangkan jika sejuta orang yang telah membaca bukunya, maka secara otomatis juga sejuta orang telah percaya bahwa Negara X adalah Negara yang sangat membanggakan. Begitu

Kita kembali ke Negara kita tercinta, Indonesia. Sedikit saya menceritakan betapa pendahulu kita mengajarkan banyak hal. Sebut saja Ir. Soekarno, yang mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia Pasti Merdeka, dan tidak akan pernah terlambat. 17 Agustus 1945 ditanamkan sebagai sebuah tanggal yang tidak akan pernah terlambat untuk merdeka. Indonesia pasti merdeka. Sebuah kepastian yang amat memesona dari leluhur kita.

Kebaikan adalah sebuah keniscayaan. Dan kembalinya Indonesia harum dengan ketepat waktuan adalah niscaya. Indonesia tidak akan pernah membawa dirinya. Tapi kitalah yang membawa Indonesia. Jadi, renungan pemuda diatas bukanlah hal kosong, melainkan hal sederhana yang sulit dipahami oleh seseorang yang membuat alasan klasik, lalu menyalahkan budaya. Sungguh, menyalahkan budaya adalah alasan yang tidak tepat, bukan?

Di jalan kemenangan  kita yakin bahwa suatu saat perubahan yang sangat mendasar itu ada di dalam diri kita. Ya, diri kitalah sang perubahan itu. Perubahan yang amat sederhana, namun membawa dampak yang luar biasa bagi diri. Terutama bagi Indonesia agar tak senantiasa dicaci. Mengenang hal ini, saya jadi terngiang nasehat Guru kita semua tentang salah satu rahasia 3 M nya, Mulailah dari diri sendiri, Begitu Aa Gym menasehati. Dan saya pun ikut menambahkan, Jika menginginkan perubahan, mulailah dari diri sendiri, untuk berjanji tidak mau terlambat lagi.

Mereka yang Tidak Pernah Terlambat

Sungguh, kata Umar bin Khatab radiyallahu anhu. Engkau adalah pemburu kebaikan. Lanjut Umar atas kekagumannya kepada Abu Bakar Ash-Siddiq.

Pujian ini diucapkan Umar bin Khatab radiyallahu anhu  atas pembicaraan pagi itu. Imam Jalaluddin As-Suyuthi merekam pembicaraan ini di dalam Tarikh Al-Khulafanya. Setelah shalat subuh berjamaah, para sahabat berkumpul bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Terucaplah sebuah pertanyaan dari lisan termulia. Siapa diantara kalian yang puasa hari ini? Sabda Rasulullah.
Maka, Umar bin Khatab menjawab dengan jujur, Wahai Rasulullah, saya tidak berniat puasa semalam, maka saya berbuka hari ini.

Mendengar jawaban Umar bin Khatab, bak gigi gemeretak, suara mendayu pun terbuka, 
Alhamdulillah, saya semalam berniat puasa dan saya kini sedang berpuasa. Ternyata suara itu dari lisannya Abu Bakar Ash-Siddiq.

Lalu adakah diantara kalian yang mengunjungi orang sakit?

Kita belum memasuki siang, kata Umar bin Khatab tegang. Lalu bagaimana kita bisa 
mengunjungi orang sakit?

Saya mendengar bahwa Abdurrahman bin Auf sakit, jawab Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka sembari berangkat saya melewati rumahnya untuk melihat bagaimana kondisinya di pagi ini.

Umar terkesima dengan penuturan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Lalu, lanjut Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Siapakah diantara kalian yang memberi makan orang miskin di pagi ini?

Kami shalat wahai Rasulullah, dan matahari belum juga terbit. Umar bin Khatab berkomentar.

Saat memasuki masjid, kenang Abu Bakar Ash-Siddiq. Saya dapati seseorang meminta-minta. Saya dapatkan sepotong roti dari Abdurrahman, saya ambil roti itu dan saya berikan kepada orang yang meminta-minta tadi.

Lagi-lagi Umar bin Khatab terkesima.

Kita tinggalkan sebentar kisah ini. Abu Bakar, sang pemburu kebaikan. Ia benar-benar melakukan sesuatu yang mengagumkan. Berusaha menjadi yang pertama, the first. Sebab tak jarang, keterlambatan dimaknai dengan biasa-biasa saja, lumrah dan wajar. Tapi tidak bagi Abu Bakar, semua waktunya merupakan ladang kebaikan.

Mengapreasiasi amal shaleh Abu Bakar Ash-Siddiq ini, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memberikan sebuah kabar yang sangat indah, mencengangkan dan dirindukan siapa saja yang hadir disitu. Bagaimana tidak? Kalimat pamungkas dari Rasulullah ini sangat dicintai para sahabat.

Kabar gembira bagimu dengan surga.

Terdiamlah seluruh jamaah. Begitulah, sebuah apreasiasi bagi mereka yang selalu ingin menjadi yang pertama, tidak mau terlambat dan berusaha sesungguh mungkin untuk tidak terlambat. Di dalam rasa cinta kepada kebaikan, kata terlambat tidaklah ada di dalam kehidupan kita. Terlambat hanya ada bagi orang-orang yang belum ingin bersegera meraih kebaikan. Dua kalimat bagimu surga adalah kalimat terindah yang dimaknai oleh orang-orang yang bermental pejuang.

Di jalan kemenangan, menjadi orang yang pertama adalah sebuah karakter yang harus mendarah daging. Mereka lebih senang menunggu ketimbang ditunggu dan dicemaskan oleh orang banyak. Dan ketika hadir, ada rona kekecewaan dari para sahabat, teman maupun saudara-saudara kita. Bukankah sangat indah jika kita bersama belajar menghargai waktu yang telah kita janjikan?

Di jalan penuh perjuangan meraih kesuksesan, menjadi seseorang yang datang lebih awal, lebih pagi, sebelum waktunya, merupakan awal kemenangan sempurna. Bagimu surga, bagimu surga. Maka berlomba-lomba menjadi yang pertama adalah hal yang indah. Sehingga, tak ada lagi yang beralasan dengan jam karet atau jam ala Indonesia lagi. Namun, yang terucap adalah kata  maaf dan penyesalan atas keterlambatan, bukan mencari alasan-alasan.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran [3] : 133)

Selamat datang para pejuang. Mari berlomba menjadi yang pertama!

Jika Perempuan Berkata

Jika Perempuan Berkata - Jika perempuan berkata tidak apa-apa, terkadang di dalam hatinya ada apa-apa. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata tidak masalah, terkadang di dalam dirinya ada sebuah masalah. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata jangan perdulikan aku, ter-kadang dirinya ingin diperdulikan. Berusaha menyembunyikannya.

Jika perempuan berkata biarkan aku sendiri, terkadang ia ingin ditemani. Berusaha menyembunyikannya.

Perempuan, hatinya lebih dalam dari samudra.

Perempuan, ia menyimpan rahasia dalam diam.

Perempuan, ia membuka rahasia lewat tangisan.

Dan perempuan, ketika masalah datang, ia membutuhkan sandaran.

Perempuan, ketika masalahnya datang terkadang ia butuh seseorang yang mau mendengarkannya. Mendengarkan cerita-nya dan mendengarkan masalahnya.

Terkadang begitulah perempuan. Seorang mahluk yang tercipta sangat unik di bumi ini.

***

Skenario Allah Maha Dahsyat

www.kaskus.com
Mengawali tulisan ini, sejenak saya ingin bersyukur atas nikmat Allah hari ini. Banyak sekali kebahagian yang aku dapatkan sebelumnya, sampai tak terhitung. Allah memang Maha Baik. Tak terhitung sudah besarnya nikmat yang Ia berikan.
Jujur, tulisan ini adalah kakaknya dari tulisan Tentang Impian dan Orang tua'. Kalau kamu belum baca bagian itu kayaknya nggak lengkap deh. Tulisan ini juga bukanlah impian yang terbangun dari tidur. Bukan, tulisan ini hanya berusaha menyempurnakan tulisan pertama yang tidak sempurna. Sebab, yang sempurna hanya rokok. Hehehe.
Hanya candaan, yang sempurna hanya Allah subhanahu wataala. Ok, kita lanjut cerita yang sebelumnya masih bersambung. Penasaran ya? Hehe ma-af membuat lama menunggu.
Jadi, setelah aku diterima menjadi mahasiswa di Bandung. Aku tinggal di sebuah kos yang kebetulan dekat sekali dengan kampus. Aku menghabiskan waktu belajar di kampus, kos dan masjid. Saat itu temanku mash sedikit karena masih baru tahun pertama kuliah. Masih dalam bulan pertama masuk kuliah.
Ah  ujian kembali menyapa ku dengan lembut. Sebulan sanggup membayar uang kos, namun di bulan ke dua aku tidak sanggup lagi membayar. Ditambah dengan keuangan orang tua yang pas-pasan. Kalau aku minta ke orang tua, itu hanya memberatkan keluarga. Jadi, kuputuskan untuk mencari tempat tinggal yang gratis.
Allah menyayangi hamba-Nya. Membelai lembut agar kita lebih banyak belajar arti kehidupan. Masa kekanak-kanakan ku berubah saat itu. Saat aku harus mencari tempat tinggal yang gratis, aku jadi lebih banyak berpikir tentang masa depan. Aku juga belajar arti kedewasaan, tanggung jawab dan mandiri. Dan aku juga banyak belajar untuk bersabar dan tawakal. Aku menemukan satu hal, mungkin masjid bisa menerimaku, tak apa jika aku harus menjadi marbot masjid, asalkan ada tempat tinggal yang nyaman tak masalah.
Sembari berjalan kuliah, aku berusaha mencari-cari masjid yang mau menerimaku. Aku berkeliling sekitar kampus. Aku ingat, ada tiga masjid yang terdekat, tapi semuanya menolak dengan alasan banyak hal. Harapanku pupus.
Aku hampir putus asa. Beruntung ada orang baik yang Allah kirimkan saat itu. Namanya Pak Ade. Beliau menawarkan agar tinggal di sebuah rumah temannya. Gratis. Ah langsung saja aku iyakan. Tapi masalahnya hanya jarak yang jauh dari kampus. Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan untuk sementara ini. Aku resmi tinggal di rumah Bang Ulung di daerah Karapitan, rumah temannya Pak Ade.
Bang Ulung orangnya baik, perhatian, dan peduli denganku. Aku merasakan beliau seperti teman. Meskipun beliau sudah menikah dan punya anak, tapi perhatiannya pun ditujukan padaku. Aku sudah menggangap Bang Ulunk seperti kakak sendiri.
Dua bulan berlalu saya tinggal bersama Bang Ulung dan keluarga. Sayup-sayup rasa tidak enak hati menyelimutiku selama dua bulan terakhir. Aku sudah terlalu nyaman samapi lupa bahwa aku sudah membuat orang lain repot dan kesusahan. Kudengar juga bahwa rumah Bang Ulung adalah rumah kontrakan dan akan segera habis waktunya.
Aku berpikir keras lagi. Mencari tempat tinggal yang baru. Bagaimana ini?
Alhamdulillah, kembali Allah menunjukan kuasanya. Aku dibolehkan tinggal di UKM kampus untuk sementara waktu. Alhamdulillah
Tinggal di UKM kampus membuahkan pelajaran yang beharga. Saat itu lah aku memulai bisnis kecil-kecilan di kampus. Hitung-hitung untuk menutupi kebutuhan hidup selama tinggal di perantauan yang jarang sekali mendapat kiriman. Hehehe
Aku mencoba bisnis kue, makanan ringan dan minuman kecil. Alhamdulillah, meski sedikit aku banyak pelajaran yang berharga. Lama kelamaan, aku mulai bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari lewat jualan itu. Alhamdulillah
Ujian datang lagi. Ah  kok banyak ujian ya. Lebaiiiii . Bukan, bukan itu. Maksudku memang benar-benar ujian kok. Jadi, saat itu muncul kebijakan kampus untuk tidak memperbolehkan mahasiswa tinggal di kampus. Mendengar itu aku langsung lemesss, dimana lagi aku harus tinggal? Kok ujian nggak udah-udah ya?
Kata orang bijak, Ujian itu untuk menaikan derajat. Betullll, aku setuju kalau sama yang beginian. Allah pasti punya rencana lain, pasti.
Dan inilah puncak ujian tempat tinggal yang aku rasakan. Awalnya aku shalat dzuhur berjamaah di Mushala kampus, eh tiba-tiba ada kakak kelas yang ngajak ngobrolgtu dah. Ngalor ngidul. Nah, pas dia ngomong ada pesantren yang menerima mahasiswa aku langsung terbelalak. Waaaw, ada pesantren yang khusus mahasiswa, super banget!
Dia langsung ngasih brosul pesantrennya. Begitu liat brosurnya, nggak pake lama lagi buat bilang iya, mau, dan mau banget. Nah, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di pesantren.
Bulan Februari akhir menjadi saksi bisu bahwa aku sudah menjadi seorang santri. Yeee #TepokTangan.
Disini, di pesantren ini sampai saat ini, aku masih menikmati setiap episode kehidupan yang baik. Belum lagi punya lingkungan positif, teman-teman yang keren-keren dan memotivasi aku untuk terus maju. Buktinya, buku pertamaku yang lebih dahulu terbit ditulis saat menjadi santri. Wah wah wah. Buku kedua juga begitu, sampai saat ini, menulis tulisan ini pun di pesantren.
Nah, aku jadi merasa baru menjadi orang sekarang. Emang dulu kemana, nggak tahu. Hehehe. Masih jadi piyik kali ya. Jadi, bener banget kalau skenario Allah itu indah banget, brow. Mantap, cakep, bikin aku spechlees. Perjalanan ini juga mengajarkan aku untuk terus menatap masa depan yang baik, yang nggak suram kaya air terjun 30 meter, hehe. Oh iya, hal yang paling penting dalam menjalani setiap ujian adalah sabar, kalem, dan terus tatap masa depan. Jangan nge-galaumulu. Hidup ini kan nggak selebar daun kelor, betul atau betul?

Nah, ini cerita hidupku, mana cerita hidupmu?

Menunggu dan Ditunggu



Hujan deras di luar sana membuatku mengingat sesuatu yang telah lama berlalu. Sekisah masa lalu yang tak akan pernah aku melupakannya. Kisahnya sederhana, saat umurku masih sepuluh tahun aku sering dipanggil gadis kecil yang cantik. Ibu dan Ayah selalu menilaiku begitu. Ibu dan Ayah sangat pandai membuat pipiku berubah menjadi merah tomat.
Kini, usiaku sudah tak seperti dulu, memasuki umur 20 tahun. 20 tahun, sebuah bilangan umur yang dialami banyak perempuan sepertiku. 20 tahun, sebuah bilangan umur yang menyimpan perasaan rindu pada seseorang yang akan menjemputnya. Menjemput untuk menjadi bidadari dunia dan akhiratnya.
Bayangan itu hilang ketika Ibu mendekatiku.
Kamu sudah bisa menentukan, Nak. Ibu akan mengajarkanmu satu hal,
Apa itu, Bu?
Jadilah wanita yang ditunggu, bukan wanita yang menunggu,
Maksudnya, Bu?
Kelak akan ada seseorang yang datang untuk mengambilmu dari Ayah dan Ibu. Ketika hal itu terjadi, tentu saja Ibu akan mengikhlaskan. Tapi Ibu tak mau kamu menjadi wanita yang menunggu. Ibu ingin agar kamu menjadi wanita yang ditunggu oleh seseorang yang akan meminta izin kepada Ayah dan Ibu,
Kau tahu? Ibu meneruskan sembari mengusap kelapaku. Hakikat wanita itu ditunggu, bukan menunggu. Biarkanlah para laki-laki yang menunggumu atau tidak sama sekali. Karena hakikat laki-laki memang suka menunggu. Mungkin diluar sana, ada seorang laki-laki yang telah mempersiapkan segalanya untuk mengambilmu dari Ayah dan Ibu. Dan sekarang, laki-laki itu sedang menunggu kesempatan dan waktu yang tepat,
Biarkanlah laki-laki itu menunggu. Dan kamu tak perlu menunggunya, sebab Ibu ingin agar kau menjadi seorang wanita yang ditunggu.
Aku berpikir keras mendengarkan penjelasan Ibu. Ibu benar-benar memberikanku pelajaran yang rumit hari ini. Menunggu, ditunggu dan apapun itu. Aku belum bisa menerjemahkannya dalam kata-kata.
Aku sayang Ibu Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Terputuslah percakapan ini. Menjadi hening. Terdiam lama dalam pangkuan Ibu.

Merindukan Dia



Merindukan dia. Seperti kerinduan rintik hujan yang jatuh cinta kepada bumi. Setiap tetesnya menyuburkan. Setiap tetesnya menyuburkan tanah yang gersang.
Merindukan dia. Seperti kerinduan bintang yang jatuh cinta kepada bulan. Setiap terangnya bintang mencahayakan. Setiap pancaran cahaya bintang membuat yang dicinta menjadi lebih benderang.
Merindukan dia. Seperti kerinduan malam yang jatuh cinta kepada fajar. Setiap penantian malam selalu menggetarkan. Setiap pertemuan keduanya melahirkan keindahan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan langkah yang jatuh cinta kepada perjalanan. Seperti ingin mengungkit kenangan. Seperti indahnya langkah dalam setiap perjalanan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan pelangi yang jatuh cinta kepada warna. Setiap deretan warna memberikan keindahan. Setiap deretan warna membawa kebahagiaan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan kejora yang jatuh cinta kepada pagi. Setiap hari berharap bisa menemukan pagi. Setiap hari selalu mengharapkan bertemu pagi.
Merindukan dia. Seperti kerinduan angin yang jatuh cinta kepada udara. Setiap hembusannya membuat kesejukan. Setiap pertemuan keduanya mendatangkan kebahagiaan.
Merindukan dia. Seperti kerinduan akar yang jatuh cinta kepada daun. Setiap kerinduan membawa kekuatan. Setiap kerinduan mempengaruhi ikatan yang saling menguatkan. Meski tak bisa bertemu tetap saling memperdulikan, bukan?
Merindukan dia yang masih dirahasiakan-Nya.

Tentang Impian dan Orang Tua



Aku tidak pernah bercita-cita untuk kuliah selepas lulus SMA. Keluarga lebih menyarankan aku untuk bekerja saja. Kondisi ekonomi yang pas-pas-an membuat alur kehidupan keluarga berbeda. Sudah menjadi tradisi keluarga bahwa seorang anak lelaki yang lulus dari sekolah harus langsung bekerja, mencari uang, dan membantu ekonomi keluarga.
Tahun 2012 saya lulus dari sekolah SMK. Tak terbayang kebahagiaan keluarga saat itu. Mereka telah lama menanti agar saya bisa segera bekerja. Rona senyum dan kegembiraan pun terpancar jernih dari wajah kedua orang tua, Ibu dan Bapak. Memang itulah yang mereka tunggu.
Bapak hanya seorang pedagang keliling yang pendapatannya pas-pasan. Cukup, kadang tak mencukupi. Sedangkan ibu hanyalah seorang Ibu rumah tangga yang terkadang membantu berjualan gorengan, nasi uduk dan mie goreng di sekolah SD kampung.
Aku masih punya kakak dan adik. Kedua kakak ku sudah berkeluarga dan sibuk dengan urusan keluarganya. Dan kakak mewariskan tradisi ini sampai kepada pundakku. Dua adik laki-laki dan dua adik perempuan yang masih sekolah menunggu uluran tanganku. Berharap, aku akan membantu mereka agar adik-adik tetap lanjut sekolah. Harapan mereka, ada di atas pundakku. Sebagai seorang laki-laki dikeluarga, aku pun setuju bahwa aku harus bekerja.
Masih terngiang-ngiang sampai saat ini ditelinga perkataan Ibu saat itu, Dan kata Ibu sembari menatapku. Ibu doakan Kamu sukses ya. Biar bisa bantu adik-adik yang masih dibawah. Dan aku pun mengangguk pelan.
Beberapa hari kemudian aku pun mengumpulkan berkas-berkas lamaran pekerjaan. Aku mencari informasi-informasi tentang lowongan di koran, lewat teman maupun saudara. Dan Alhamdulillah, Allah memudahkan ikhtiar saya dalam niat membantu orang tua. Dalam waktu singkat aku sudah diterima di perusahaan swasta di kota Bandung.


Aku bekerja penuh keyakinan. Ujung mataku boleh saja memandang ke depan, tapi isinya adalah bayangan keluarga dan adik-adik yang menungguku dirumah. Menunggu senyum dariku yang ketika awal bulan berganti. Ah disinilah saya merasakan benar-benar menjadi seorang kakak. Lalu, selama ini aku kemana? Entahlah.
Ditengah perjalanan, aku dikejutkan dengan berita yang akau dapat dari Om saat itu. Ada tawaran beasiswa dari pemerintah untuk kuliah gratis asal syaratnya dipenuhi. Aku masih ingat, saat itu Om membacakan sebuah ayat Al-Quran yang sampai saat ini saya ingat.
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.(Q.S. Ar-Rahman [55] : 33)
Om menyemangatiku untuk berani mengambil keputusan, berani mencoba dan berani keluar dari zona nyaman. Dalam sekejab, Om berhasil membuatku yakin untuk bisa kuliah. Apalagi aku sangat yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Rezeki kan ada dimana-mana, pikirku saat itu. Betul kan?
Aku membulatkan tekad, yakin bahwa aku bisa meraih penghasilan lebih ketika kuliah nanti. Kan bisa saja Allah memberikan rezeki yang tak terduga. Rezeki tersebar dimana-mana kok. Kata Om, Jangan pernah takut tidak mendapat rezeki, manusia itu sudah ditentukan rezekinya. Jadi, dimanapun berada, pasti diberikan rezekinya. Nggak akan tertukar rezekinya. Begitu Om menyemangatiku agar selangkah lebih maju.
Satu hari berikutnya, aku bercerita kepada Ibu tentang keinginan untuk kuliah. Merantau ke kota lain. Belajar dan mencari titik kehidupan yang baru. Aku izin pada Ibu.
Ibu menatapku dengan pandangan haru, kukira Ibu akan menyetujui langkahku, ternyata tidak. Sebuah kata-kata lembut namun tajam terucap dari lisan mulia. Menyadarkanku dari lamunan panjang.
Dan kalau kamu tinggal di luar sana, biaya dari mana? Nanti tinggal dimana? Siapa yang akan bantu adik-adik?
Ah aku urung untuk meneruskan keinginanku untuk kuliah. Stop, tak tega rasanya.
Sejak saat itu, sejak melihat tatapan Ibu, aku berusaha menghindari komunikasi dengan Om. Takut-takut kalau Om berhasil menyuntik semangatnya kepadaku lagi. Dan benar, selang beberapa hari aku tak bertatap lagi dengan Om, demi menjaga perasaan Ibu.
Perasaan lega terputus lagi. Ternyata Bapak sering berkomunikasi dengan Om. Bapak memberitahuku tentang tawaran dari Om. Bapak sih setuju-setuju saja. Toh, itu semua demi kebaikan ku. Akhirnya, pada suatu sore, saat semua berkumpul di ruang tengah, Bapak menceritakan hasil obrolannya dengan Om dan bapak setuju kalau aku merantau ke kota lain.
Diusiaku yang ke 18 tahun, aku dipaksa harus merantau oleh Bapak. Kadang, aku suka mendengar perdebatan Ibu dan Bapak soal permasalahanku. Bapak setuju, sedangkan Ibu agak menolak. Bukan, bukan karena Ibu tak menyetujui, tapi Ibu khawatir kepadaku tentang nasib diriku di kota yang jauh dengan rumah. Dan Bapak pun benar, ingin agar aku bertambah dewasa dan mandiri. Keduanya benar dan mempunyai alasan yang kuat.
Oh malangnya diriku. Aku menjadi sebab pertengkaran mereka. Ingin sekali kukatakan, Sudah, sudah jangan bertengkar! kau akan menurut kepada keputusan yang paling baik. Tapi aku urungkan. Bodohnya diriku saat itu, masih mental kekanak-kanakan. Tak punya nyali untuk menentukan, tak berani ambil keputusan.
Sejak saat itu aku tak banyak bicara. Aku lebih baik diam saja. Tak membicarakan satu hal apapun terkait keinginanku untuk kuliah di luar kota. Hanya saja, Allah berkehandak lain. Ibu menghampiriku, ia menatapku dengan lamat-lamat penuh arti cinta.
Dan  kalau kamu mau kuliah, sekarang Ibu ridho. Ibu yakin, suatu saat kamu akan sukses.
Mendengar kata-kata itu hatiku berbunga. Seperti ada angin segar yang menyejukan hati yang gersang. Menyemai lembut hingga ke relung sanubari. Maka detik itu pula aku mantap mengatakan, Bismillah, aku akan berusaha meraih beasiswa itu.
Aku mengadukan keputusan ini kepada Om. Dan dengan senang hati, Om mengurus semua keperluanku untuk mendapatkan beasiswa. Seperti ijazah, surat keterangan lulus, sertifikat prestasi sampai-sampai aku pun mengumpulkan hasil rata-rata nilai rapotku.
Bimillah, aku mantap menatap masa depan, tanah baru, keluarga baru dan sahabat baru. Tepat pada bulan Agustus aku meluncur ke Bandung untuk melengkapi persyaratan penerimaan beasiswa bersama Om. Setelah persyaratan cukup, tinggal menunggu waktu tes tulis dan wawancara. Aku pun kembali ke rumah dengan perasaan lega. Restu Bapak dan Ibu sudah kudapatkan. Impian ku untuk kuliah sebentar lagi akan terwujud.
Aku pulang dari Bandung dengan perasaan berbunga dan lega. Aku tidak merasa khawatir tinggal dimana dan dengan siapa. Aku hanya yakin, Allah akan menempatkanku ditempat yang diridhoi-Nya. Bagiku, dimanapun tempatnya, asal Allah ridho, maka aku pun ridho. Begitu pikirku.
Sehari setelah kepulangan, aku dikejutkan dengan kata-kata kakak. Rupanya kakak nggakbegitu setuju aku kuliah di Bandung. Kakak lebih memintaku untuk bekerja saja sembari kuliah. Aku ingat, bagaimana kakak memarahiku saat itu, KALAU TETEP KE BANDUNG, JANGAN TANYA KE KAKAK KALAU ADA APA-APA!!! EMANGNYA KELUARGA KITA BANYAK DUIT??? UANG DARI MANA KALAU KAMU KULIAH!!!
Ah menetes sudah air mata hati dan jiwaku. Semangatku luntur kembali. Seolah-olah aku dibawa melayang untuk memikirkan kembali bagaimana kehidupan luar tanpa dekat dengan orang tua? Uang dari mana? Akan tinggal dimana?
Sempurna sudah semangat yang telah aku tanam selama ini
Ujian tulis dan wawancara itu tetap berlangsung meski semangatku tak seperti dulu. Tak seperti pertama kali aku datang ke kampus ini. Semangat tinggi yang kubawa ke kampus ini pertama kali, kini hilang dibawa alunan angin yang melambai syahdu.
Aku ujian tertulis dengan seadanya, tidak dengan semangat. Bukan, bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku berharap aku tidak diterima dikampus ini. Jadi, aku tetap melanjutkan sesuatu yang telah aku jalani, tapi aku berusaha menghindarinya.
Tes wawancara pun kujawab dengan seadanya. Datar-datar saja. Mudah-mudahan dengan begitu aku tidak diterima. Tidak ada semangat seperti dulu lagi saat wawancara. Aku pasrah dengan keadaan. Aku pasrah dengan ke Maha Adilan Allah.
Aku pulang membawa sejuta cerita dalam hidup. Antara aku harus menilai diri payah tak bisa memperjuangkan mimpi- atau memang aku mengalah dengan kemauan keluarga. Entahlah saat itu aku hanya pasrah.
Aku menceritakan kepada keluarga tentang apa yang aku lakukan. Tentang ketidak semangatan ku mengerjakan ujian dan tes wawancara. Aku bilang kepada Ibu, Semoga saja kamu nggakditerima, Bu. Dan ibu hanya terdiam.
Selang beberapa hari kemudian. Saya ingat, satu bulan kemudian, tepatnya bulan September, pengumuman kelulusan pun diumumkan. Betapa kagetnya ketika nama saya menjadi daftar orang-orang yang diterima menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa unggulan. Allah batinku. Mungkinkah ini skenario yang terbaik dari-Mu?
Aku terisak di pangkuan Ibu, antara menangis dan bingung. Antara dua pilihan yang berat : kesempatan dan ketidak restuan. Pilih yang mana? Sebagai seorang anak aku hanya bisa menyerahkan pilihan ini kepada Ibu dan Bapak. Jika mereka merestui, dengan bismillahaku berangkat. Jika tidak, maka aku akan menolak. Aku sudah tidak perduli dengan nasehat kakak, yang aku harapkan saat itu adalah restu Ibu dan Bapak.
Aku mencoba berbicara kepada Ibu. Aku ingat, selepas shalat aku menghampiri Ibu. Duduk didepannya sembari menatap wajahnya yang indah. Bu, menurut Ibu bagaimana? kamu menjadi salah satu orang yang diterima beasiswa unggulan. Mohon pilihannya, Bu, apa kamu batalkan atau terima?
Aku ingat, saat itu Ibu terharu sekaligus sedih. InsyaAllah Ibu setuju, Dan. Kata Ibu. Sebuah kata yang sangat aku syukuri saat itu. Tapi  Ibu melanjutkan. Ahh  jika ada kata tapi berarti Nanti kamu tinggal dimana? Sama siapa? aku menagis saat itu. Ternyata Ibu memikirkan keadaanku nanti. Saat itu aku jadi belajar, bahwa orang yang pertama kali ingin kubahagiakan adalah Ibu.
Bapak pun menyetujui. Hanya saja, cara bicara Bapak tak seperti Ibu. Bapak langsung mengiyakan saja dengan cepat. Tanpa pikir panjang langsung bilang yes. Maka dengan bismillah, aku bertekad untuk tetap melanjutkan study meski kakak tidak setuju.
Dan pada saat 17 September 2012, saya resmi menjadi Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Bandung. Alhamdulillah, wasyukrulillah, ala nimatillah.

Jadi, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?

Namamu


Siapa dia? salah seorang bertanya kepadaku.
Teman, dia temanku ... jawabku sembari tersenyum.
Teman apa teman? Bukan teman juga nggak apa-apa,
Saat itu kau pun tersenyum. Aku berusaha menjelaskan sebaik mungkin siapa dirimu. Siapa dirimu di mataku. Dan mereka tetap tak percaya sembari tertawa.
Saat dipertemuan komunitas aku tertegun ketika dia jadi datang. Tentu saja, lagi-lagi hatiku berguncang. Aku putuskan untuk tidak ikut komunitas itu karena ingin menjaga perasaanku (yang sebenarnya jatuh cinta padamu). Aku tak jadi ke pertemuan komunitas itu.
Handphone berdering. Sebuah sms masuk darimu.
Lagi dimana?
Bergetar hatiku. Dikampus, kamu sms saja orang yang sudah kumpul disana.
Aku nggak kenal semuanya,
Ah, tiba-tiba rasa ibaku muncul begitu saja. gerimis pun datang seperti mengetahui isi hatiku. Dengan hati yang penuh iba, aku mengendarai motor ditengah-tengah gerimis. Ada rasa ingin membantunya. Setibanya disana (dengan pakaian yang cukup basah) kau sudah duduk di tengah-tengah komunitas itu. Lega sudah hati ini. kau menatapku dan aku menatapmu. Seketika aku tersenyum. Berharap waktu berjalan lama.
***
Atas nama cinta, aku berdosa. Atas nama cinta, aku telah jatuh dalam nista. Atas nama cinta, aku hanyalah manusia biasa yang penuh dengan salah dan khilaf. Begitulah kisah pertemuan hingga akhirnya aku dan dia memutuskan untuk saling berpisah. Memutuskan untuk saling menjaga, saling tak membiarkan cinta ternoda.
Semenjak itu, tak ada lagi dalam hidupku bayanganmu. Namun seiiring dengan hilangnya dirimu tak sedetik pun aku kehilangan namamu. Inilah awal sebuah pertemuan dan perpisahan. Siap merasakan jatuh cinta, maka harus siap mengembalikan cinta kepada pemiliknya. Yakni Allah azza wajalla.

***

Yang Terkenang

Sering kali pertemuan pertama terkesan indah. Memoar ingatan yang sebentar itu rasanya sulit dilupakan. Seorang pemuda duduk bersama teman-temannya. Menatap kedepan seorang tukang bakso tahu yang sedang jualan di pelataran masjid.
Masjid itu tak lain dekat dengan sekolah SMA. Ada yang sibuk memerhatikan, ada yang melirik, saling lirik dan saling memendam rasa. Namanya juga remaja, ah bagitu sifat murni yang dirasakannya.
Pemuda itu tertunduk malu saat sekelompok akhwat berjilbab datang membeli baso tahu juga. Hati pemuda itu bergetar. Menahan diri dari lama-lama memandang akhwat berjilbab.
Hey, seorang temannya menepuk pundak pemuda itu.
Pemuda itu mengalihkan wajah. Apa, ada apa?
Akhwat yang sering kuceritakan itu memakai kerudung biru ... mata temannya menuju arah seorang akhwat berjilbab biru. Sungguuh anggun. Upsss. Keceplosan. Aku kembali fokus menyantap baso tahu.
Biru, batin pemuda itu.
Seiring berjalannya waktu, pemuda itu pun suka berkomunikasi dengannya. Sejak itu pula, pemuda itu tak langsung memanggil namanya. Bukan karena tidak kenal, tapi memiliki bahasa lain. Pemuda itu memanggil akhwat itu dengan sebutan Gadis berkerung biru. Sesekali pemuda itu sempat tak bisa bicara apa-apa saat dikala akhwat itu bertanya, Kenapa memanggil kerudung biru?
Pemuda itu gelagapan.
Karena pertemuan pertama itu engkau sedang memakai kerudung biru,
Percakapan via handphone itu terputus begitu saja. meninggalkan sejuta tanda tanya yang sangat besar di benak pemuda itu. Sejak saat itu, komunikasi berjalan lambat, selambat jarum jam berdetak. Detik terasa seperti menit. Dan semakin jauh, tertinggal dan kembali jauh. Dan pemuda itu berhenti mengucapkan Gadis berkrudung biru lagi. Berakhir kenangan itu. Lepas menjauh.
***
Lepas dari masa itu membuatku banyak belajar arti sebuah harapan. Harapan itu ada, sudah menjadi sifat dasar manusia. Namun, terlalu menikmatinya pun menjadi sebuah rasa sakit. Memang benar, terlalu mengharapkan bukanlah sebuah jalan yang baik. dan terlalu memikirkan pun belum tentu dia memikirkan. Hidup itu pilihan, bukan?
Saya cemburu pada seseorang perempuan yang cantik dan shalehah. Ia dikenal banyak laki-laki, tapi ia tak terlalu banyak menanggapi. Rumahnya pun sering dikunjungi laki-laki, tentu saja maksudnya membicarakan kepada orang tuanya, bukan kepada perempuan shalehah itu. Namun, ia tak banyak juga menanggapi.
Saat sepi, malam pun datang. Ia berwudhu, memakai mukena putihnya lalu berdoa, Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang yang sering menyebut namaku dalam doanya. Agar aku tahu ketika dia mencintai dan merindukanku, ia pun ingat dengan-Mu.
Sekarang tiba giliranku untuk berdoa, Ya Allah, pertemukan aku dengan orang yang mampu menerimaku dalam keadaan apapun, menerima segala kekurangannya dengan keshalehannya. Menerima aku dengan cara membelaku saat orang lain menjatuhiku. Dan pertemukan aku dengan orang yang menyebutku dalam doanya. Seperti perempuan shalehah itu.

***

Lapak Tilas Bercahaya


Suatu kali aku melihat masjid. Aku cemburu. Sebab, ia selalu berpikir bahwa banyak yang akan mendekat kepadanya, walaupun hanya sekedar lewat saja. Ah, masjid, kau begitu khusnudzon, menunggu sabar seseorang datang untuk masuk ke dalam ruanganmu. Lalu engkau begitu rindu kepada manusia untuk bersujud di tempatmu. Begitu rindu.
Suatu kali aku melihat masjid. Betapa ikhlas kau menyejukan manusia. Sebelum masuk ke dalamnya, kau sediakan air yang begitu sejuk, menusuk qalbu, dan menyegarkan tubuh-tubuh kering ini. Kau begitu baik.
Meski betapa banyak yang sadar bahwa kami bukanlah orang baik, tetap saja kau berbaik hati untuk menerima kedatangan kami. ah masjid, jadikanlah kami selalu tamu yang engkau sambut dengan hangat.
Melihat cahaya diatasnya. Mengenang aku sujud di dalamnya. Betapa indahnya. Tulisan ini saya buat saat pandangan saya berada tepat di depan Masjid. Ia berdiri gagah dan bercahaya. Sempat saya berpikir tentang berjuta-juta kebaikan yang telah masjid berikan. Meski ia hanyalah sebuah bangunan.
Tunggu, kau tahu salah satu pemuda yang dijamin masuk surga? Ya, adalah pemuda yang hatinya terpaut dengan masjid. Dan kau tahu siapa orang yang selalu mendapat senyuman bidadari-bidadari surga? Ya, adalah orang yang membersihkan masjid walaupun satu butir debu.
Saat di dalamnya, ada yang menghafal ayat-ayat Allah, ada yang berdzikir, ada yang shalat dengan khusyuk, dan ada yang memandang saja (seperti saya ini J). Siapapun percaya, bahwa setiap orang yang sedang berada di dalamnya pasti akan merasakan rasa nikmat, sejuk dan tenang. Entah mengapa?
Apa sebabnya?
Sebab berada di dalamnya seperti ada gaya yang mengajak kepada kebaikan. Ada gaya yang memaksa menjauhi kemaksiatan. Ada gaya yang menolak kemungkaran. Kita seperti diajak untuk terus berbuat baik, berpikir positif dan mengagungkan Allah. Tak seperti kebanyakan tempat lainnya, Masjid menjadi salah satu tempat berkumpulnya para penyeru kebaikan, para pejuang dakwah islam, para pengajar ilmu islam. semuanya berkumpul pada satu titik.
Oh ya, berbicara tentang surga, semua pasti menginginkannya. Tak usah repot mencarinya. Toh sudah ada di depan mata. Terpaut saja hatimu kepada masjid. Terpatri saja tempat bersujudmu adalah masjid, tempat ketenanganmu adalah masjid,  mensucikan dirimu adalah masjid.
Betapa surga telah dijanjikan bagi siapapun yang terpatri dengannya. Diberikan surga sebab kemuliaan tempatnya. Wah indah sekali.
Bayangkan, setiap waktu, seseorang di dalam masjid selalu menyerukan untuk menuju kemenangan, menuju kebahagiaan. Hayya alas falaah, hayya alas falaah. Marilah menuju kemenangan. Marilah menuju kemenangan. Toh, seseorang di dalam masjid selalu mengumandangkannya. Tentu saja, untuk mengajak kita semua menuju kemenangan itu. Saat kita dekat dengan Allah, maka semuanya menjadi menang. Sebab Allah lah Zat yang tak ada tandingan. Betul kan?
Masjid bukan hanya mengajak menuju kemenangan, teman. Tapi mengajak pula menuju jannah-Nya. Siapa yang tak mau? Semua pun mau. Tak ada yang menolaknya. Oleh sebab itu, para pejuang selalu menjadikan masjid sebagai tempat pensucian diri, memohon ampunan, berdoa dan berbagai banyak hal kebaikan yang bisa dilakukan.
Masjid pun adalah tempat kebersamaan. Dimana saat waktu shalat masuk kita berbaris rapih membuat barisan. Membuat shaf. Kita bisa belajar arti disiplin didalamnya, belajar arti kebersamaan didalamnya, belajar untuk mengagungkan nama-Nya. Dan masih banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil di dalam masjid.
Kau tahu? Tempat itu amat bercahaya. Tempat itu tak hanya mencahayakan dirinya, tetapi juga mencahayakan semuanya. Mencahayakan sekitarnya. Semuanya bercahaya.
Saya jadi teringat ayat ini :
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. At-Taubah [9] : 18)
Semoga kita menjadi bagian darinya ya!
Wah, banyak sekali keutamaan masjid ya, gumamku.
Yups, betul

***

Perpisahan

Aku ragu ada dan tiadaku. Tapi cinta mengumumkan aku ada.

La haula wa la quwwata illa billah, kalimat itu terucap setiap kali mengingat tentang sebuah perpisahan. Bagaimana mungkin aku kuasa untuk menahan perpisahan. Kau tahu, setiap yang berawal pasti berakhir. Yang ada pasti tiada. Kecuali Allah saja.
Sebagaimana hidup pasti akan mati. Sebagai mata sebuah barang, pasti rusak. Yang jelas, perpisahan itu sangat dekat. Sebagaimana adanya pertemua pasti ada perpisahan. Nah, mengapa harus ada perpisahan? Padahal perpisahan itu sungguh menyiksa?
Simple saja.
Perpisahan membuktikan bahwa tak ada yang kekal kecuali Allah. Perpisahan membuktikan bahwa dunia ini fana. Perpisahan membuktikan bahwa setidaknya selalu ada harapan untuk berharap.
Misalnya, kita pernah kehilangan hal yang penting, lalu sedih. Jika itu terjadi padamu biarkan aku menceritakan sebuah kisah teman ketika ia kehilangan sebuah tas di dalam mobilnya. Apa yang ia katakan,
Sedang dipinjam,
Begitu ikhlasnya, sehingga Allah menggantinya dengan yang lebih baik. seluruh kehilangannya diganti oleh Allah yang lebih baik.
Dear,  dalam perpisahan sulit sekali untuk ikhlas. Seolah-olah ingin terus tak berpisah. Baik dengan manusia, benda atau apapun yang kita miliki. Namun kita harus sadar bahwa perpisahan itu ada, mari belajar ikhlas. Tak perlu sedih ataupun kecewa, semua sudah menjadi kehendaknya.
Daun yang jauh dari tangkainya pun adalah bentuk perpisahan. Ia lepas dari tangkai lalu jatuh ke tanah; mengring, mengbusuk dan mati. Pohon yang gugur merupakan bentuk perpisahan, semula ia hidup berdaun, lalu perlahan gugur.
Kehilangan itu pasti ada. Jadi, jangan takut dan bersedih. Selama kita bisa ikhlas dengan semuanya. Bisa ikhlas atas takdir dari-Nya. Bisa ikhlas atas kehilangan, perpisahan dan apapun itu. InsyaAllah, keikhlasan akan membawa kita pada penerimaan. Sedangkan penerimaan melahirkan keridhoan dan keridhoan atas apapun takdir Allah maka berbuah surga-Nya. Semoga ...

***

Mau Menikah?

Siapa sih yang tidak ingin menyegerakan ibadah ini; menikah. Tentu saja menikah adalah ibadah yang paling rahasia kapan dan siapa yang k...